Sementara itu, lanjut Adek, PT BRN juga menyoroti proses hukum yang dinilai janggal. Penetapan tersangka terhadap inisial IM dilakukan sangat cepat, hanya setelah satu kali pemeriksaan. Sementara penyitaan alat berat dan kayu dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri.
Selain itu, pembatasan kebebasan pekerja di lapangan selama sekitar 10 hari dinilai melampaui kewenangan dan tidak sesuai dengan KUHAP. “Padahal, locus kegiatan berada di luar kawasan hutan. Penerapan pasal kehutanan jelas tidak tepat,” ujarnya.
Menurutnya, Satgas Pengamanan Kawasan Hutan (PKH) semestinya berfungsi administratif untuk penertiban dan pengawasan, bukan sebagai aparat penyidik pidana. “Penyitaan dan penetapan tersangka seharusnya dilakukan setelah proses administratif tuntas,” katanya menegaskan.
Penghentian kegiatan BRN di lapangan sejak awal Oktober 2025 berdampak langsung terhadap masyarakat adat Kaum Taileleu, yang selama ini menjadi mitra dalam pemanfaatan lahan.
“Pemberhentian sepihak ini menghentikan perputaran ekonomi lokal, menghilangkan upah pekerja dan memutus hak bagi hasil masyarakat adat,” ujarnya lagi.
Ia menilai tindakan yang terburu-buru ini tidak hanya merugikan perusahaan, tetapi juga merugikan hak ekonomi masyarakat adat yang justru dilindungi konstitusi.
PT Berkah Rimba Nusantara menegaskan komitmennya untuk mendukung proses klarifikasi batas kawasan secara teknis (joint measurement), berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan membuka seluruh dokumen penatausahaan kepada instansi berwenang.
“BRN siap diverifikasi. Kami bukan pelaku illegal logging, kami beroperasi secara legal di APL dengan dasar hukum yang jelas dan kewajiban negara yang dipenuhi,” tuturnya. (*)