KPAI: Kejahatan Seksual Bukan Ranah Restoratif Justice

Kejahatan seksual

HARIANHALUAN.ID – Kadiv Wasmonev Komisioner KPAI, Jasra Putra mengungkapkan bahwa kasus kejahatan seksual pada anak bukan ranah restoratif justice atau kasus yang didamaikan begitu saja. Hal ini menyangkut adanya proses panjang situasi korban yang akan dijalani sepanjang hidupnya.

Jasra menyebutkan, kasus kejahatan seksual anak yang terungkap ke publik dan media harus dikawal. Jika kasusnya tidak dikawal dengan baik, maka prosesnya tidak bisa naik ke penyidikan, persidangan dan penuntutan.

“Kejahatan seksual tidak dapat didamaikan begitu saja. Kita harus kawal, jika tidak dijadikan perhatian, jauh dari proses persidangan, tidak bisa mengakses informasi persidangan tertutup karena alasan tertentu, pada perjalanannya kurangnya keberpihakan baik SDM dan anggaran, tiba-tiba kasusnya berubah arah, terlunta-lunta, pasalnya belum ditentukan, prosesnya tidak bisa naik ke penyidikan, persidangan dan penuntutan,” katanya. 

Jasra menambahkan, hingga Juli 2022 banyak kasus menjadi kegeraman publik  yang menanti keadilan. Namun berhadapan dengan penegakan hukum yang tidak tegak lurus, karena dinamika pendampingan kasus membutuhkan perspektif yang terus diperbaharui.

Hal ini disebabkan kasus kejahatan seksual  berada diruang privat, yang menempatkan korbannya jadi sendirian tanpa pendampingan dengan menjadi saksi sekaligus korban. Mulai dari berani mengungkap kasusnya, menjalani pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan, persidangan, pembuktian dan penerapan hukum.

“Relasi yang timpang ini sangat mudah diintervensi dan dimanipulasi para pelakunya. Sehingga penguatan pembuktian baik ditahap pemeriksaan, persidangan, sampai putusan membutuhkan pendampingan psikolog yang kuat untuk korban,” katanya. 

Kemudian ada tantangan bagi para petugas yang menanganinya, mulai dari APH, pendamping, masyarakat pemerhati, CSO dan saksi ahli yang dihadirkan dalam menguatkan perspektif penanganan kejahatan seksual yang berpihak pada korban, perlu terus menerus dikuatkan dalam tahap panjang prosesnya. 

“Jika salah menarasikannya, justru menempatkan korban menjadi pesakitan, diserang secara psikologis. Perjalanan kasus akan lumpuh, bila berhadapan dengan kasus yang orang tua dan korbannya menjauh dari proses hukum karena berbagai sebab,” ujarnya lagi.

Menurut Jasra, sangat penting semua pihak melihat yurisprudensi kasus-kasus sebelumnya yang telah diputuskan pengadilan agama dan pengadilan negeri. Ia menuturkan, penanganan kasus harus belajar dari kasus kejahatan seksual yang dapat dipedomani dan adanya kasus berakhir damai. 

Akibat diselesaikan dengan pola restorative justice, perkawinan siri, dispensasi perkawinan yang semuanya terkait dengan memanipulasi perbuatan. Bicara pernikahan siri misalnya, sesuai UU 1 Tahun 1974 perkawinan yang sah menurut agama, namun harusnya tidak selesai di situ, karena wajib didaftarkan untuk mendapatkan pengakuan negara,” tutur Jasra. 

Pada kasus seperti ini, Jasra menuturkan, hakim harus cermat dalam memperhatikan dispensasi pada perkawinan yang sebenarnya sangat tidak layak. Hal ini karena Indonesia sebagai negara hukum membatasi usia perkawinan minimal 19 tahun. 

Begitupun KUHP bicara bersetubuh dengan anak di bawah umur dapat dipidana berat. Sehingga restorative justice dengan alasan apapun, dapat melanggar hak anak. Undang-Undang (UU) perlindungan anak dan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual saling menguatkan dalam pemberatan hukuman untuk para pelaku.

“Karena dispensasi kawin dianggap tidak layak, karena di sana rekonstruksi timpang. Tidak ada yang mau anaknya dihadapkan unsur kesusilaan yang dilanggar seperti ini. Jangan sampai ada anggapan di masyarakat, mereka yang mengerti agama namun menggunakan istilah itu dengan tidak pada tempatnya, seperti mendapatkan dispensasi karena sudah nikah mutah atau nikah siri,” tuturnya. (*)

Exit mobile version