Ia menjelaskan, perihal awal kasus terjadi sejak Proyek Jalan Bukittinggi By Pass melalui surat perjanjian kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat II Bukittinggi (Pihak Pertama: Wali Kota Armedi Agus) dengan pemilik tanah yang terkena proyek Jalan Bukittinggi By Pass (Pihak Kedua: Sdri Elida) melalui sistim konsolidasi pada 1992.
Akibat status tanah bersengketa antara Elida, Ajas St. Sinaro, Tk. Rajo Mulia, dan Marteti sehingga terbitlah Keputusan Wali Kota Bukittinggi Nomor 188.45-196-2002 Tanggal 14 Oktober 2002 tentang penetapan areal konsolidasi di Kelurahan Campago Ipuh sebagai areal yang tidak dilakukan penataan kembali, yang artinya status tanah konsolidasi sudah dikembalikan ke tanah adat.
“Pada tahun 2022 pihak Elida (85) sudah memiliki alas hak yang secara adat sudah dinyatakan sah oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Mandiangin Kota Bukittinggi (REG No. 15/KAN/MDN/IX-2022). Sementara itu, proses sertifikat terkendala karena tanah pusako tinggi telah berisi bangunan liar oleh Saudara Tanin sejak tahun 2009, ini yang kemudian menjadi masalah,” ujar Datuak Rangkayo Basa.
Oleh karena itu, sambungnya, kami bersama Datuak Mantari Basa selaku Penghulu Mamak Kepala Suku Pisang Sabuah Gadang Datuak Radjo Mulia berkewenangan mengurus Kemenakan Datuak Radjo, sesuai arahan Niniak Mamak Pucuak Bulek. “Selain itu, kami juga menuntut hadirnya Pemko Bukittinggi ikut serta menuntaskan persoalan yang sudah berlarut-larut ini,” ujarnya.
Dikatakan juga oleh Datuak Rangkayo Basa, konflik memuncak saat Soni (Dt. Panduko Marah dari Tilatang) mendirikan bengkel besi di tanah yang belum jelas penyelesaiannya tersebut.
“Kami melihat sudah ada teguran diberikan oleh Camat Mandiangin Koto Selayan (MKS) dan pihak Elida, namun Soni tidak mau mundur karena terlanjur membayar sewa tanah Rp37,5 juta kepada pihak Saudara Almarhum Tanin,” tuturnya,.
Datuak Rangkayo Basa juga mengungkapkan, pada 2010 lalu, Penghulu Mamak Kepala Suku Pisang alm Dt. Radjo ke-IV dan Mamak Kepala Waris alm Dt. Saidi Radjo pernah melapor ke Polresta Bukittinggi tentang tindak pidana penggarapan dan pengrusakan tanah pusako tinggi tanpa izin menggunakan eksavator, serta melakukan pembangunan liar.
“Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruangpun sudah memberikan Surat Peringatan Ke-I (SP-I) Nomor 600:77/GP/SP-11DPU-PR-TR/2020 disusul dengan Surat Peringatan Ke-II (SP-II) Nomor 600:36/GP/SP-II/DPU-PR-TR/2020, sampai saat ini Izin atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) belum diterbitkan,” ucapnya. (*)