Sengketa Tanah, Kaum Pasukuan Pisang Sabuah Gadang Akan Boikot Jalan By Pass Bukittinggi

Kaum Pasukuan Pisang Sabuah Gadang

Parik Paga Nagari Kurai (PPNK) mendirikan plang berukuran besar bertuliskan Dilarang Memasuki Area Ini, Tanah Ini Milik Kaum Pasukuan Pisang Sabuah Gadang dj Jalan By Pass Bukittinggi. IST

BUKITTINGGI, HARIANHALUAN.ID – Masyarakat hukum adat Kurai Bukittinggi yang diwakili Parik Paga Nagari Kurai (PPNK) menuntut penyelesaian bekas tanah konsolidasi By Pass Ipuah, Kota Bukittinggi, yang sudah bermasalah sejak tahun 1992.

Dalam tuntutannya, Parik Paga mendirikan plang berukuran besar bertuliskan “Dilarang Memasuki Area Ini, Tanah Ini Milik Kaum Pasukuan Pisang Sabuah Gadang Datuak Rajo Mulia, tertanda Datuak Rangkayo Basa dan Datuak Mantari Basa”.

Ketua Harian Parik Paga Nagari Kurai, Taufik Datuak Nan Laweh mengatakan, pihaknya atas nama anak nagari meminta Pemko Bukittinggi untuk menyelesaikan konsolidasi jalan By Pass yang belum pernah diselesaikan sejak 32 tahun. Oleh karena itu, pihaknya mencari keadilan dengan Pemko Bukittinggi.

Menurutnya, dulu Pemko Bukittinggi membentuk tim pembebasan lahan masyarakat di Nagari Kurai. Namun ternyata hanya separuh diselesaikan dan separuh ditinggalkan.

“Pemko Bukittinggi sudah menganggap sepele dengan penyelesaian tanah ini, padahal anak keponakan kami sudah sering menyelesaikan pergi mencari keadilan ke Kantor BPN, namun hingga saat ini belum diselesaikan sesuai dengan kehendak kami, ” kata Taufik Datuak Nan Laweh kepada sejumlah wartawan usai memasang plang merek di lokasi, Jumat (9/8/2024).

Ditegaskannya, apabila Pemko Bukittinggi masih mengabaikan dengan kejadian ini. Maka pihaknya akan memboikot Jalan By Pass hingga diselesaikannya permasalahan tanah di By Pass.

Sementara itu, Penghulu Suku Pisang, Mawardi Datuak Rangkayo Basa mengungkap ada kesan pemerintah kota tidak berupaya menyelesaikan konflik selama 32 tahun ini. 

“Kami sudah menyurati Wali Kota Bukittinggi, menemui pejabat lainnya, tapi belum ada hasil. Untuk menghindari konflik antara sesama anak kemenakan, kami menuntut Pemko Bukittinggi segera menyelesaikan, dan lokasi disterilkan sementara dari aktivitas pembangunan baru,” ucap Mawardi Datuak Rangkayo Basa.

Ia menjelaskan, perihal awal kasus terjadi sejak Proyek Jalan Bukittinggi By Pass melalui surat perjanjian kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat II Bukittinggi (Pihak Pertama: Wali Kota Armedi Agus) dengan pemilik tanah yang terkena proyek Jalan Bukittinggi By Pass (Pihak Kedua: Sdri Elida) melalui sistim konsolidasi pada 1992. 

Akibat status tanah bersengketa antara Elida, Ajas St. Sinaro, Tk. Rajo Mulia, dan Marteti sehingga terbitlah Keputusan Wali Kota Bukittinggi Nomor 188.45-196-2002 Tanggal 14 Oktober 2002 tentang penetapan areal konsolidasi di Kelurahan Campago Ipuh sebagai areal yang tidak dilakukan penataan kembali, yang artinya status tanah konsolidasi sudah dikembalikan ke tanah adat.

“Pada tahun 2022 pihak Elida (85) sudah memiliki alas hak yang secara adat sudah dinyatakan sah oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Mandiangin Kota Bukittinggi (REG No. 15/KAN/MDN/IX-2022). Sementara itu, proses sertifikat terkendala karena tanah pusako tinggi telah berisi bangunan liar oleh Saudara Tanin sejak tahun 2009, ini yang kemudian menjadi masalah,” ujar Datuak Rangkayo Basa.

Oleh karena itu, sambungnya, kami bersama Datuak Mantari Basa selaku Penghulu Mamak Kepala Suku Pisang Sabuah Gadang Datuak Radjo Mulia berkewenangan mengurus Kemenakan Datuak Radjo, sesuai arahan Niniak Mamak Pucuak Bulek. “Selain itu, kami juga menuntut hadirnya Pemko Bukittinggi ikut serta menuntaskan persoalan yang sudah berlarut-larut ini,” ujarnya.

Dikatakan juga oleh Datuak Rangkayo Basa,  konflik memuncak saat Soni (Dt. Panduko Marah dari Tilatang) mendirikan bengkel besi di tanah yang belum jelas penyelesaiannya tersebut.

“Kami melihat sudah ada teguran diberikan oleh Camat Mandiangin Koto Selayan (MKS) dan pihak Elida, namun Soni tidak mau mundur karena terlanjur membayar sewa tanah Rp37,5 juta kepada pihak Saudara  Almarhum Tanin,” tuturnya,.

Datuak Rangkayo Basa  juga mengungkapkan, pada 2010 lalu, Penghulu Mamak Kepala Suku Pisang alm Dt. Radjo ke-IV dan Mamak Kepala Waris alm Dt. Saidi Radjo pernah melapor ke Polresta Bukittinggi tentang tindak pidana penggarapan dan pengrusakan tanah pusako tinggi tanpa izin menggunakan eksavator, serta melakukan pembangunan liar.

“Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruangpun sudah memberikan Surat Peringatan Ke-I (SP-I) Nomor 600:77/GP/SP-11DPU-PR-TR/2020 disusul dengan Surat Peringatan Ke-II (SP-II) Nomor 600:36/GP/SP-II/DPU-PR-TR/2020, sampai saat ini Izin atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) belum diterbitkan,” ucapnya. (*)

Exit mobile version