Sebagai ilustrasi, Rahmat Saleh mencontohkan masyarakat yang memiliki kebun atau lahan sering kali menemui hambatan ketika melaporkan aset tersebut ke LHKPN.
“Jika tanah tidak memiliki dokumen kepemilikan sah, laporan tersebut bisa ditolak. Namun, jika tanah sudah disertifikatkan, aset itu diakui sebagai kekayaan baik oleh pemerintah maupun perbankan,” katanya.
Rahmat Saleh juga menyoroti banyaknya aset masyarakat yang masih tercatat sebagai tanah ulayat atau atas nama anak kemenakan. Dengan demikian, aset itu seringkali dianggap tidak produktif karena tidak terdata sebagai kekayaan sah yang didata oleh negara.
Ia menambahkan di Sumbar terdapat tantangan khusus dalam pengurusan sertifikat tanah, seperti sistem kepemilikan lahan yang melibatkan konsep pusako tinggi dan pusako randah. “Hal ini sering menjadi alasan rendahnya minat masyarakat Sumbar untuk mengurus sertifikat tanah,” katanya.
Kemudian, ada pula kekhawatiran di kalangan niniak mamak dan kemenakan bahwa sertifikasi tanah akan mempermudah proses penjualan atau penggadaian.
“Namun setelah berdiskusi dengan Kepala Kanwil ATR/BPN Sumbar, nyatanya tidak semudah itu. Ada aturan yang harus diikuti,” ujarnya.