JAKARTA, HARIANHALUAN.ID – Komisi III DPR RI menerima 13 nama calon Hakim Agung dan 3 nama calon Hakim Adhoc HAM Mahkamah Agung (MA) dari Komisi Yudisial. Tahapan berikutnya, Komisi III akan melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebelum menetapkan melalui rapat pleno.
Nama-nama yang diserahkan tersebut meliputi calon Hakim Agung Kamar Pidana, Perdata, Agama, Militer, Tata Usaha Negara, Tata Usaha Negara Khusus Pajak, serta Hakim Agung Adhoc HAM. Proses seleksi ini mendapat sorotan tajam dari sejumlah anggota dewan agar benar-benar melahirkan hakim yang berintegritas.
Anggota Fraksi Partai Golkar, Benny Utama, menekankan bahwa hakim agung adalah benteng terakhir masyarakat dalam mencari keadilan. Karena itu, rekrutmen harus menitikberatkan pada kualitas dan integritas, bukan semata-mata kecakapan teknis.
“Orang berilmu memang banyak, tapi yang memiliki integritas kuat dalam penegakan hukum tidaklah banyak. Apalagi belakangan kita sering mendengar hakim, termasuk hakim agung, terjerat masalah. Ini menjadi catatan penting untuk memperbaiki sistem rekrutmen,” tegas Benny dalam rapat Komisi III DPR dengan panitia seleksi pada Senin (8/9) yang dimpimpin Ketua Komisi III Habiburokhman.
Ia menambahkan, pelacakan rekam jejak calon hakim mutlak diperlukan. Menurutnya, lembaga seperti KPK, Kejaksaan, bahkan instansi tempat calon pernah bertugas dapat dimintai informasi. Laporan kekayaan juga harus diuji konsistensinya dengan profil penghasilan calon hakim. “Transparansi harta menjadi indikator penting dalam menilai integritas seorang calon hakim agung,” ujarnya.
Benny juga menyoroti calon yang berkali-kali gagal dalam seleksi namun kembali masuk daftar. “Motivasi ini harus didalami, kenapa begitu getol dan bersemangat ingin menjadi hakim agung. Jangan sampai ada kepentingan lain yang tersembunyi,” katanya.
Ia menekankan bahwa nama-nama yang diajukan ke Komisi III seharusnya sudah benar-benar matang dari segala aspek. Jika calon yang lolos bermasalah, menurutnya, publik akan menyalahkan DPR. Untuk itu, rekrutmen terbuka dan partisipasi publik harus diperluas agar mengurangi potensi terpilihnya calon bermasalah.
Benny juga menyinggung penumpukan perkara di Mahkamah Agung yang semakin menghambat akses keadilan. Menurutnya, kondisi ini bertentangan dengan asas hukum acara yang cepat, sederhana, dan berbiaya murah. Ia mengusulkan perlunya kategori pembatasan perkara yang bisa diajukan kasasi agar tidak semua perkara menumpuk di tingkat MA.
Selain itu, ia menilai kebutuhan jumlah hakim agung perlu dipenuhi sesuai undang-undang. “Kalau anggarannya ada, kenapa tidak dipenuhi jumlah hakim sesuai kebutuhan. Ini bisa sekaligus menjawab persoalan penumpukan perkara yang saat ini membebani Mahkamah Agung,” pungkasnya. (h/rel/isr)