HARIANHALUAN.ID – Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah berharap tidak ada persaingan di kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang Pemilu 2024.
Dijelaskan Fahri, masa pemerintahan Jokowi masih tersisa satu tahun tujuh bulan, sama dengan ketika BJ Habibie menjadi presiden. Waktu yang tersisa ini diharapkan Fahri bisa dimanfaatkan Jokowi untuk terus membangun rekonsiliasi dan menjaga kekompakan kabinetnya.
“Dalam masa sisa pemerintahan Pak Jokowi ini jangan ada persaingan di kabinet karena bisa merusak fokus dan konsentrasi kerja dari pemerintah gara-gara sibuk memikirkan pencalonan di Pilpres 2024,” kata Fahri Hamzah kepada wartawan, Sabtu (9/4/2023) malam.
Diegaskan Fahri, kerja pemerintahan masih dibutuhkan oleh rakyat karena krisis global belum selesai. Perang Rusia-Ukraina telah merusak merusak supply chain global (rantai pasokan global), sehingga banyak produk yang datang ke Indonesia harganya menjadi mahal.
“Hari ini Taiwan mau diserang China dan Laut Cina Selatan itu ada perbatasan kita, itu terancam. Jadi apa yang dilakukan oleh Pak Jokowi meminta adanya koalisi besar itu, sebagai sebagai konsolidasi terhadap kabinet. Menurut saya harus dihormati dan harus dipuji, karena kekuasaan kabinetnya masih berlangsung,” jelasnya.
Fahri kembali menekankan, harusnya para menteri yang berada di kabinet tidak boleh punya calon sendiri-sendiri, karena nanti yang bekerja untuk pemerintah tidak ada, sementara mereka masih bagian dari pemerintah.
“Kalau oposisi mau menyerang silahkan saja. Tetapi inisiatif Pak Jokowi mengkosolidasi sisa kekuasaan sampai berakhir, itu top dan harus dipuji. Nanti, efeknya hanya satu kandidat, misalkan Prabowo terserah. Yang penting konsolidasinya top,” tegas Fahri.
Sebab, menurutnya, para menteri yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR), seperti Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan dan Prabowo Subianto jika memiliki calon sendiri seperti Partai Nasdem, tentu tidak akan lagi yang bekerja untuk pemerintahan Jokowi.
“Airlangga, Zulkifli Hasan, Prabowo menterinya Pak Jokowi, Mardiono timnya Jokowi dan Muhaimin ada beberapa menterinya di situ. Kalau Nasdem kita bahas ulang saja. Kalau semua sudah punya calon sendiri, terus yang kerja buat pemerintahan Jokowi itu siapa?” kata Fahri.
Fahri Hamzah memuji langkah Presiden Jokowi dalam melakukan upaya rekonsiliasi dan konsolidasi elite. “Jika elite bersatu dalam situasi krisis saat ini, maka akan banyak manfaatnya,” kata Fahri.
Upaya Rekonsiliasi
Menurut Fahri, sebenarnya upaya rekonsiliasi dan konsloidasi elite itu, sudah dilakukan Pak Jokowi sebelum adanya Covid-19. Pertama dilakukan Jokowi ketika revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) pada 2019 lalu.
Dengan merevisi UU MD3 itu, semua partai di parlemen duduk di kursi pimpinan MPR RI. “Presiden bilang kita mau masuk rekonsilisiasi, semua partai kasih pimpinan, dan dapat semua. PKS dapat, ada Hidayat Nur Wahid, Demokrat dapat ada Syarief Hasan, bahkan Arsul Sani dari PPP saja dapat, tentu juga ada DPD di situ,” katanya.
Artinya, kata Fahri, Presiden Jokowi sudah melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi elite sebelum ada Covid-19, dimana ketika itu dunia dalam keadaan biasa-biasa dan tenang-tenang saja.
“Jadi Jadi sebenarnya rekonsiliasi yang dirancang Pak Jokowi sebelum krisis, itu satu inisiatif yang tepat, setelah terjadi pembelahan dua kali yang keras. Tapi sayang, tiba-tiba awal 2020, Covid-19 datang,” katanya.
Fahri secara tegas mendukung langkah Jokowi itu dalam melakukan rekonsiliasi tersebut.
“Ketika kita diundang Pak Jokowi, waktu itu belum deklarasikan Partai Gelora. Pesan kita ke Pak Jokowi, teruskan rekonsiliasi yang sudah bapak rintis di UU MD3. Kemudian dalam pidatonya, Pak Jokowi ngomongnya selalu rekonsiliasi,” ungkap Fahri.
Sehingga Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang merupakan rivalnya di Pilpres 2019, akhirnya ditarik masuk ke kabinet, menjadi Menteri Pertahanan dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
“Tadinya kita menginginkan agar rekonsiliasi dilanjutkan sampai pada pembenahan sistem pemilu dan politik secara masif. Tetapi, sayangnya tidak berani dituntaskan, misalnya soal Presidential Treshold 0 persen,” kata Fahri. (sam)