PADANG, HARIANHALUAN.ID — Perempuan saat ini memiliki potensi untuk memberikan warna dan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak dalam kancah politik dan lembaga publik. Meskipun demikian masih terdapat kesenjangan gender yang signifikan dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan penting.
Bundo Kanduang Sumbar, Prof Raudha Thaib, mengatakan, masyarakat Minangkabau tradisional sampai saat ini masih menganggap kepemimpinan kaum perempuan sebagai suatu yang sakral dan maha penting. Hal itu pun sesuai dengan kenyataan bahwa dalam suatu kaum, kaum perempuan atau Bundo Kanduang telah diakui sebagai pemilik sah dari segala aset milik kaum seperti misalnya Rumah Gadang, Rangkaian, Sawah, Ladang, Tapian, Pandam Pakuburan dan lain sebagainya.
“Jadi, di Minangkabau, perempuan itu diibaratkan sebagai presiden komisaris dalam kaum. Sementara lelaki adalah direksi yang diangkat oleh komisaris sesuai ranji keturunannya,” ujarnya kepada Haluan pekan lalu.
Bundo Raudha Thaib menjelaskan, bagi kepemimpinan tradisional masyarakat Minangkabau, posisi kepemimpinan perempuan hanya dikecualikan terhadap empat posisi yakninya, Panghulu, Manti, Dubalang dan Malin.
Namun menariknya kata Bundo Raudha, pengangkatan atau pemberhentian posisi ke empat unsur kepemimpinan yang dikenal dengan istilah Urang Nan Ampek Jinih ini, justru sangat ditentukan oleh keputusan yang diambil oleh kaum perempuan
“Selain menempati empat posisi itu, bagi masyarakat Minangkabau tidak ada larangan bagi perempuan, selama ia sanggup dan memiliki kapasitas,” tegasnya.