Jangan Hanya Sekadar Pelengkap, Perkuat Peran Perempuan dalam Politik

Bundo Kanduang Sumbar, Prof Raudha Thaib

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Perempuan saat ini memiliki potensi untuk memberikan warna dan kontribusi yang signifikan dalam menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak dalam kancah politik dan lembaga publik. Meskipun demikian masih terdapat kesenjangan gender yang signifikan dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan penting.

Bundo Kanduang Sumbar, Prof Raudha Thaib, mengatakan, masyarakat Minangkabau tradisional sampai saat ini masih menganggap kepemimpinan kaum perempuan sebagai suatu yang sakral dan maha penting. Hal itu pun sesuai dengan kenyataan bahwa dalam suatu kaum, kaum perempuan atau Bundo Kanduang telah diakui sebagai pemilik sah dari segala aset milik kaum seperti misalnya Rumah Gadang, Rangkaian, Sawah, Ladang, Tapian, Pandam Pakuburan dan lain sebagainya.

“Jadi, di Minangkabau, perempuan itu diibaratkan sebagai presiden komisaris dalam kaum. Sementara lelaki adalah direksi yang diangkat oleh komisaris sesuai ranji  keturunannya,” ujarnya kepada Haluan pekan lalu.

Bundo Raudha Thaib menjelaskan, bagi kepemimpinan tradisional masyarakat Minangkabau, posisi kepemimpinan perempuan hanya dikecualikan terhadap empat posisi yakninya, Panghulu, Manti, Dubalang dan Malin.

Namun menariknya kata Bundo Raudha, pengangkatan atau pemberhentian posisi ke empat unsur kepemimpinan yang  dikenal dengan istilah Urang Nan Ampek Jinih ini, justru sangat ditentukan oleh keputusan yang diambil oleh  kaum perempuan

“Selain menempati empat posisi itu, bagi masyarakat Minangkabau tidak ada larangan bagi perempuan, selama ia sanggup dan memiliki kapasitas,” tegasnya.

Namun sayangnya kata Bundo Raudha, realitas politik yang berlaku pada hari ini,  masih dinilai belum memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk  menempati posisi strategis sebagaimana halnya yang berlaku pada kepemimpinan Minangkabau tradisional.

“Seperti misalnya pada Pencalegan  saat ini, demi memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan, Parpol terkesan memasukkan sembarangan Caleg perempuan saja,” ucapnya.

Kebiasaan yang lazim terjadi pada musim Pemilu seperti itu, kata Bundo Raudha, telah mengindikasikan bahwa perempuan belumlah dinilai  sesuai dengan kapasitas diri yang dimilikinya.

Akibatnya, pada blantika politik Ranah Minang dan Indonesia  saat ini, tokoh-tokoh perempuan Minangkabau  masih  terbilang minim  atau hampir bisa dikatakan tidak ada yang terlalu menonjol.

Selain disebabkan oleh keputusan atau pilihan pribadi perempuan sendiri, minimnya ketokohan perempuan Minang saat ini juga turut disebabkan oleh tidak berjalan dengan baiknya sistem kaderisasi partai.

“Makanya sekarang ada perempuan yang hanya diberikan uang, disuruh mendaftar jadi Caleg, dibuatkan baliho spanduknya, lalu  otomatis jadi Caleg. Padahal kapasitas diri pribadi mereka sendiri masih belum mumpuni,” terangnya.

Padahal, semestinya setiap kader perempuan yang diusung oleh partai harus berdasarkan kapasitas, kemampuan serta potensi diri yang dimilikinya masing-masing. “Meski demikian seharusnya mereka yang duduk di parlemen itu adalah mereka yang bisa membawa aspirasi semua golongan, baik perempuan maupun laki-laki. Apalagi tidak ada jaminan bahwa Caleg perempuan akan otomatis memperjuangkan aspirasi perempuan,” jelasnya.

Jangan Jadikan ‘Jualan’ Politik

Ketua Umum KOHATI Badko Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumbar, Ghita Ramadhayanti, meminta partai politik tidak menghalalkan segala cara untuk memenuhi persyaratan administrasi 30 persen keterwakilan perempuan pada pencalegan Pemilu 2024 mendatang.

Ghita menyebut, daripada  merekrut Caleg perempuan secara serampangan  demi melengkapi persyaratan administrasi 30 persen keterwakilan perempuan, partai politik sebaiknya mulai  mempersiapkan sekolah kader perempuan sejak dini.

“Agar caleg perempuan  terpilih  benar-benar bermartabat dan berkapasitas, Parpol harus mulai menyiapkan sekolah kader perempuan jauh sebelum dimulainya tahapan Pemilu,” ujarnya kepada Haluan Selasa (30/5).

Ghita menilai,  kebanyakan Parpol yang ada saat ini, masih terkesan memaknai kuota 30 persen keterwakilan perempuan hanya sebagai persyaratan administratif yang harus dipenuhi agar bisa lolos verifikasi saja.  Akibatnya, ketika tahapan penjaringan Caleg dibuka, Parpol hanya berlomba-lomba merekrut sebanyak-banyaknya Caleg perempuan tanpa memperhatikan kapasitas dan kapabilitas diri Caleg  bersangkutan.

“Fenomena ini juga menjelaskan kenapa banyak Caleg perempuan  yang tiba-tiba muncul lalu menghilang . Penyebabnya, ya karena bagi partai, hanya harus ada Caleg perempuan saja,” jelasnya.

Ia menyebut, pandangan sempit seperti ini, justru akan hanya   melanggengkan politik yang berwatak patriarkis. Serta menjadikan perempuan hanya sebagai objek atau komoditas ‘jualan’ politik semata.

Aktivis perempuan kebanggaan Badko HMI Sumbar ini bahkan menilai bahwa kuota 30 persen keterwakilan perempuan, merupakan  bentuk penghinaan elite  patriarki terhadap kapasitas dan kemampuan yang  dimiliki perempuan.

“Memangnya kuota 30 persen itu sudah ambang batas, kan tidak! Kuota ini justru malah menampakkan kesan bahwa perempuan semakin inferior dan lelaki semakin superior, hari ini kita masih terkungkung dengan paradigma itu,” ucapnya.

Ia menegaskan, perbedaan antara lelaki dan perempuan sejatinya telah bersifat kodrati. Kendati demikian, perbedaan itu tidak seharusnya dimaknai dalam perspektif konflik antar genderang. Begitupun dalam bidang politik yang semestinya lebih bersifat demokratis.

Ghita menyampaikan, agar kuota 30 persen keterwakilan tidak menjadi regulasi yang berpotensi menjadikan perempuan sebagai komoditas politik belaka, proses rekrutmen Parpol perlu dibenahi. Hal itu harus dimulai dengan mempersiapkan pendirian sekolah kader.

“Sebab pada realitas politik hari ini, para Bacaleg kita justru tidak mempersiapkan kapasitas diri. Tapi malah mempersiapkan modal dan kapital politik. Kebiasaan ini yang harus dirubah dengan pendirian sekolah partai oleh parpol sejak masa pra pemilu,” ucapnya .

Tingkatkan Kiprah

Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Provinsi Sumbar, Armiati, mengatakan, KPPI sebagai organisasi  yang beranggotakan perempuan politik lintas partai terus mendorong, agar kiprah perempuan di politik dan di lembaga publik bisa terus meningkat.

 “Kesetaraan merupakan salah satu cita-cita bangsa. Kami di KPPI terus mendorong perempuan agar bisa  berperan baik di legislatif maupun di eksekutif,” ujarnya kepada Haluan, Selasa (30/5).

Bicara Pemilu 2024, sambung dia, KPPI Sumbar konsen meningkatkan kapasitas calon legislatif (Caleg) perempuan yang maju ke pileg, terutama yang ada di internal KPPI. Agar program peningkatan kapasitas caleg berjalan optimal, KPPI bersinergi dengan sejumlah pihak dan juga OPD terkait di daerah.

Sebelumnya, Sekretaris Umum DPW PKS Sumbar, Rahmat Saleh, kepada Haluan mengatakan, pihaknya sepakat kehadiran perempuan di politik hendaknya bukan hanya sebagai pelengkap kuota saja, tapi bisa menjadi anggota legislatif terpilih. Hal ini karena, keberadaan perempuan sangat penting di parlemen, karena hampir semua urusan di negara ini banyak terkait dengan perempuan, seperti ketahanan keluarga, kepentingan perlindungan anak, dan yang lain-lain.

“Untuk bisa menjadi anggota legislatif terpilih, kader-kader partai yang tergabung dalam KPPI tentunya harus menyiapkan diri sejak dari sekarang, mulai dari meningkatkan kapasitas, elektabilitas, dan yang lain-lainnya,” ujar Rahmat Saleh yang juga merupakan anggota DPRD Sumbar tersebut.

Rahmat Saleh menyampaikan, sebagai wujud dukungan terhadap perempuan di politik, PKS Sumbar mendukung program-program yang dijalankan oleh KPPI, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas perempuan. (fzi/len)

Exit mobile version