Ivan mengatakan, DKI Jakarta memang menjadi provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang. Namun, di Ibu Kota, indikasi ini lebih mudah terdeteksi.“Kalau Jakarta karena sistemnya sudah bagus, dia lebih cenderung mudah diketahui. Berbeda dengan Jawa Timur,” katanya.
Sejalan dengan itu, PPATK menemukan bahwa transaksi terkait pemilu justru melonjak pada masa tenang atau satu hingga tiga hari sebelum pemungutan suara. Transaksi ini tercatat dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK) para peserta pemilu.
“Kalau transaksinya banyak di masa kampanye oke, untuk biaya kampanye, sewa gedung, beli makan, beli kaos, bayar macam-macam itu di masa kampanye. Tapi kenapa RKDK ini banyak bergeraknya di minggu tenang?” ujar Ivan.
Atas temuan tersebut, PPATK menduga, aktivitas kampanye para peserta pemilu didanai oleh sumber-sumber yang tak tercatat. Sumber dana itu bisa jadi berasal dari pihak yang melakukan aktivitas ilegal, seperti pelaku illegal logging, pelaku illegal mining, bahkan bandar narkotika.
Menurut Ivan, situasi ini terjadi karena aturan pemilu tak melarang aktivitas kampanye didanai dari sumber lain di luar RKDK.“Jadi orang mau nyumbang pakai apa-apa silakan saja, fatalnya kan di situ. Hasil narkoba masuk silakan saja, nanti dia pakai macam-macam silakan saja,” tutur dia. (h/hmg)