JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap adanya kenaikan transaksi mencurigakan terkait kampanye peserta Pemilu 2024 hingga 100 persen. Bahkan 11 provinsi memiliki risiko tinggi dana kampanye sebagai sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU), termasuk salah satunya Sumatera Barat.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, berdasarkan hasil pemantauan terhadap daftar calon tetap (DCT) peserta Pemilu 2024 yang telah diterima PPATK ditemukan sejumlah transaksi yang mencurigakan.
“Kita menemukan memang peningkatan yang masif dari transaksi keuangan mencurigakan. Misalnya terkait dengan pihak pihak yang berkontestasi. Ini lagi kita dalami,” jelas Ivan.
Ivan menjelaskan, rekening khusus dana kampanye (RKDK) yang mestinya digunakan untuk membiayai kegiatan kampanye politik itu cenderung tidak bergerak transaksinya.
Justru, Ivan mengungkap bahwa yang bergerak adalah transaksi pihak-pihak lainnya.”Kita kan bertanya pembiayaan kampanye dan segala macamnya itu biayanya dari mana kalau RKDK-nya tidak bergerak kan. Nah, itu kita melihat ada potensi misalnya orang mendapatkan sumber dari hasil ilegal, dipakai untuk membantu yang seperti itu gitu ya,” kata Ivan.
PPATK, kata Ivan, telah mengikuti kenaikan transaksi terkait pemilu ini sejak Januari. Adapun laporan terkait hal itu diklaim terus menerus mengalami kenaikan.
Kenaikan transaksi mencurigakan ini tidak hanya terjadi di partai politik, melainkan juga perseorangan.”Banyak. Enggak harus partai, ya perorangan, segala macem gitu kan,” ungkap Ivan.
Ivan menjelaskan pada prinsipnya, PPATK ingin kontestasi politik ini dilakukan dengan beradu itu visi misi, bukan adu kekuatan uang, apalagi ada keterlibatan dari dana-dana yang berasal dari hasil ilegal.
Kendati demikian, Ivan tidak menjelaskan maksud dari sumber aliran ilegal yang diduga mengalir untuk kontestasi politik ini.”Ya banyak, ya kita lihat, semua tindak pidana. Waktu itu kan pernah kita sampaikan indikasi dari ilegal mining ya kan, indikasi dari macem-macem lah,” kata dia.
Lebih lanjut, PPATK mengaku sudah mengirim surat kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengenai kenaikan transaksi mencurigakan ini.”Semua sudah diinformasikan ke kpu dan bawaslu. Data sudah ada di mereka,” imbuh dia.
11 Provinsi Rawan
Sebelumnya PPATK mengindikasi sebanyak 11 provinsi memiliki risiko tinggi dana kampanye sebagai sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU).“Ada 11 provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang bercampur dengan dana hasil illegal. Artinya, memang ada potensi dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik itu,” tuturnya.
Dari 11 provinsi itu, DKI Jakarta mencatatkan rata-rata risiko tertinggi yakni 8,95. Selanjutnya, Jawa Timur dengan rata-rata risiko 8,81. Kemudian secara berturut-turut ada Jawa Barat (7,63), Jawa Tengah (6,51), Sulawesi Selatan (5,76), Sumatera Utara (5,67), Sumatera Barat (5,67), Sumatera Selatan (5,46), Papua (5,43), Bali (5,35), dan Bengkulu (5,04).
Ivan mengatakan, DKI Jakarta memang menjadi provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang. Namun, di Ibu Kota, indikasi ini lebih mudah terdeteksi.“Kalau Jakarta karena sistemnya sudah bagus, dia lebih cenderung mudah diketahui. Berbeda dengan Jawa Timur,” katanya.
Sejalan dengan itu, PPATK menemukan bahwa transaksi terkait pemilu justru melonjak pada masa tenang atau satu hingga tiga hari sebelum pemungutan suara. Transaksi ini tercatat dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK) para peserta pemilu.
“Kalau transaksinya banyak di masa kampanye oke, untuk biaya kampanye, sewa gedung, beli makan, beli kaos, bayar macam-macam itu di masa kampanye. Tapi kenapa RKDK ini banyak bergeraknya di minggu tenang?” ujar Ivan.
Atas temuan tersebut, PPATK menduga, aktivitas kampanye para peserta pemilu didanai oleh sumber-sumber yang tak tercatat. Sumber dana itu bisa jadi berasal dari pihak yang melakukan aktivitas ilegal, seperti pelaku illegal logging, pelaku illegal mining, bahkan bandar narkotika.
Menurut Ivan, situasi ini terjadi karena aturan pemilu tak melarang aktivitas kampanye didanai dari sumber lain di luar RKDK.“Jadi orang mau nyumbang pakai apa-apa silakan saja, fatalnya kan di situ. Hasil narkoba masuk silakan saja, nanti dia pakai macam-macam silakan saja,” tutur dia. (h/hmg)