Menurut Arifki, untuk membentuk ketokohan yang mengakar kuat di masyarakat serta juga elit parpol, seseorang memang harus aktif membentuk branding citra diri. Baik itu lewat media konvensional, maupun media sosial. Dan untuk melakukan itu semua, memang dibutuhkan ongkos politik yang tidak murah.
Oleh karena itu, jika memang seorang politisi punya mental bertarung, mereka seharusnya tidak boleh gentar dengan tingginya survei elektabilitas kandidat petahana. Sebab bagaimanapun, figur kandidat petahana bukannya sosok politisi yang benar-benar sempurna tanpa cacat. Mereka masih memiliki beberapa titik lemah yang semestinya bisa dimaksimalkan kandidat penantang untuk memenangkan pertarungan. “Jika kandidat penantang jeli, sosok petahana sebenarnya juga punya sisi ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerjanya. Nah, apabila penantang paham skema ini, mereka tentu akan bekerja, namun itu tentu butuh biaya, media dan tentu saja konsultan politik,” tegasnya.
Agar bisa memenangkan pertarungan politik melawan kandidat petahana, sambung Arifki, kandidat penantang memang harus bekerja ekstra keras untuk bergerak membentuk atau memperkuat ketokohan sejak jauh-jauh hari sebelum dimulainya Pilkada.
“Jika itu dilakukan jauh-jauh hari tentu itu artinya ada kesempatan dan ruang. Namun di Sumbar, mereka sepertinya cenderung menunggu dahulu baru bergerak. Sementara ini adalah Pilkada. Kalau tidak dikenal dan berbunyi, tentu partai tidak punya respon. Begitupun dengan masyarakat yang tentu akan ragu dia maju atau tidak,” ujarnya.
Oleh karena itu, Arifki menilai bahwa Sumbar hari ini sebenarnya tidak kekurangan tokoh pemimpin ideal yang punya kapasitas luar biasa. Namun begitu, kebanyakan dari mereka terlihat tidak mau berinvestasi dari awal untuk memperkuat citra dan ketokohan di tengah masyarakat.
“Mereka menganggap biaya branding, promosi atau konsultan itu sebagai beban. Padahal sebenarnya itu adalah adalah biaya politik bagi dirinya. Karena tentu tidak mungkin jika seseorang tidak pernah muncul dan dikenal banyak orang. Lalu tiba tiba muncul memaksa menjadi bupati, kan tidak bisa seperti itu,” katanya. (*)