Bundo Kanduang Sumbar Sebut Tokoh Perempuan Minang Minim pada Sistem Kaderisasi Partai

Pencabulan Sesama Jenis

Ketua Bundo Kanduang Sumbar, Puti Reno Raudhah Thaib

PADANG, HARIANHALUAN.ID — Bundo Kanduang Sumbar, Prof Puti Reno Raudha Thaib meyakini bahwa masyarakat Minangkabau tradisional sampai saat ini masih menganggap kepemimpinan kaum perempuan sebagai suatu yang sakral dan maha penting.

Hal itu pun sesuai dengan kenyataan bahwa dalam suatu kaum, perempuan atau Bundo Kanduang telah diakui sebagai pemilik sah dari segala aset milik kaum, seperti misalnya Rumah Gadang, Rangkaian, Sawah, Ladang, Tapian, Pandam Pakuburan dan lain sebagainya.

“Jadi, di Minangkabau, perempuan itu diibaratkan sebagai presiden komisaris dalam kaum. Sementara lelaki adalah direksi yang diangkat oleh komisaris sesuai ranji keturunannya,” ujarnya kepada Haluan, Rabu (24/7/2024) di Padang.

Bagi kepemimpinan tradisional masyarakat Minangkabau, lanjut Bundo Kanduang, posisi kepemimpinan perempuan hanya dikecualikan terhadap empat posisi yakninya, Penghulu, Manti, Dubalang dan Malin.

Namun menariknya, kata Bundo Raudha, pengangkatan atau pemberhentian posisi keempat unsur kepemimpinan yang dikenal dengan istilah urang nan ampek jinih ini, justru sangat ditentukan oleh keputusan yang diambil oleh kaum perempuan.

“Selain menempati empat posisi itu, bagi masyarakat Minangkabau tidak ada larangan bagi perempuan, selama ia sanggup dan memiliki kapasitas,” tegasnya.

Namun sayangnya, kata Bundo Raudha, realitas politik yang berlaku pada hari ini, masih dinilai belum memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menempati posisi strategis sebagaimana halnya yang berlaku pada kepemimpinan Minangkabau tradisional.

“Seperti misalnya pada pencalegan saat ini, demi memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan, parpol memasukkan sembarangan caleg perempuan saja,” ucapnya.

Kebiasaan yang lazim terjadi pada musim pemilu seperti itu, kata Bundo Raudha, telah mengindikasikan bahwa perempuan belumlah dinilai sesuai dengan kapasitas diri yang dimilikinya.

Akibatnya, pada balantika Politik Sumbar dan Indonesia saat ini, tokoh-tokoh perempuan Minangkabau masih terbilang minim atau hampir bisa dikatakan tidak ada yang terlalu menonjol. Selain disebabkan oleh keputusan atau pilihan pribadi perempuan sendiri, minimnya ketokohan perempuan Minang saat ini juga turut disebabkan oleh tidak berjalan dengan baiknya sistem kaderisasi partai.

“Makanya sekarang ada perempuan yang hanya diberikan uang, disuruh mendaftar jadi caleg, dibuatkan baliho spanduknya, lalu otomatis jadi caleg. Padahal kapasitas diri pribadi mereka sendiri masih belum mumpuni,” ujar Bundo Kanduang ini.

Padahal, semestinya setiap kader perempuan yang diusung oleh partai harus berdasarkan kapasitas, kemampuan serta potensi diri yang dimilikinya masing-masing.

“Meski demikian seharusnya mereka yang duduk di parlemen itu adalah mereka yang bisa membawa aspirasi semua golongan, baik perempuan ataupun laki-laki. Apalagi tidak ada jaminan bahwa caleg perempuan akan otomatis memperjuangkan aspirasi perempuan,” tuturnya. (*)

Exit mobile version