Emma Yohanna Gugat KPU RI

Emma Yohanna resmi mendaftar sebagai calon anggota DPD RI, Jumat (12/5). FARDIANTO

PADANG, HARIANHALUAN.ID—Emma Yohanna, Anggota DPD Sumbar periode 2019-2024, menggugat Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat atas dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).

Gugatan itu telah didaftarkan ke PN Jakarta Pusat pada Rabu (7/8), dengan menunjuk dua orang kuasa hukum, yakni Amnasmen dan Aermadepa.

Kuasa hukum Emma Yohanna, Amnasmen mengatakan, gugatan PMH tersebut diajukan karena KPU diduga telah melakukan kesalahan
yang sangat fatal.

Kesalahan itu berujung merugikan Emma Yohanna sebagai orang yang sudah melalui proses panjang yang fair dan ditetapkan sebagai peraih suara terbanyak kedua pada proses Pemilu DPD RI pada 14 Februari 2024 lalu.

“Akibat kesalahan yang dilakukan KPU dengan menolak perintah putusan Badan Peradilan,
Bawaslu, dan UU adalah pembangkangan yang
mengakibatkan terjadinya perintah PSU oleh Mahkamah Konstitusi (MK) RI,” kata Amnasmen saat dikonfirmasi Haluan, Kamis (8/8).

Diketahui, pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) DPD Ri Dapil Sumatera Barat (Sumbar)
yang digelar 13 Juli lalu, Emma Yohanna gagal
lolos. Padahal pada Pemilihan Legislatif (Pileg)
dirinya mengumpulkan suara terbanyak kedua. Sekitar 300 ribu suara yang didapatkan pada Pileg 2024 menjadi terbuang percuma.

“PSU DPD RI telah mengakibatkan tidak terpilihnya klien kami. PSU juga hanya dihadiri oleh sebagian kecil pemilih terdaftar dan menelan biaya yang tidak sedikit,” katanya.

Lebih jauh Amnasmen mengatakan, Emma Yohanna sebelumnya telah terpilih dalam proses elektoral yang legal, fair, dan sah.

Namun Emma Yohanna terjegal di mana tidak ada satupun pelanggaran maupun kesalahan yang diperbuat oleh Emma Yohanna. Akibatnya, banyak kerugian lainnya yang diperoleh Emma Yohanna usai tidak lolos PSU
DPD RI.

“Tidak ada satu pun juga proses ataupun pihak yang bisa mengembalikan kehormatan klien kami, Emma Yohanna, sebagai orang yang sudah dipercaya rakyat untuk diangkat sebagai anggota DPD yang sungguh menjadi haknya sesuai dengan daulat rakyat, yang sudah dipercayakan padanya lewat hasil pemilu yang sah,” katanya.

Emma Yohanna tidak saja mengajukan gugatan materil tapi juga immateril. “Sudah ada nomor perkaranya, yaitu Perkara 477/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst,” katanya.

Ia menambahkan, gugatan ini adalah buah dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPU RI terhadap Emma Yohanna. “Gugatan ini juga bentuk refleksi seorang tokoh santun dan
penuh etika yang sudah jadi korban oleh
penyelenggara, di mana menjalankan tugasnya
minim profesional dan pedoman hukum,”
ucapnya.

Sampai saat ini, pihak kuasa hukum senator DPD RI itu, tengah menunggu penjadwalan
persidangan oleh PN Jakarta Pusat. Terpisah, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Sumbar, Hamdan menyampaikan, pihaknya sudah menerima informasi Surat Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta. Namun, KPU Sumbar menunggu arahan dari KPU RI.


“Kami sudah dapatkan dari SIPP PN Jakarta. Kami belum bisa menanggapi, tapi dari SIPP
baru sebatas melihat dan sudah dibaca. Terkait tanggapan, kami sifatnya menunggu arahan dari KPU RI,” ucapnya.

Sebelumnya Emma Yohanna mengatakan, imbas dari PSU tersebut, sekitar 300 ribu suara
yang ia dapatkan pada Pileg 2024 lalu menjadi
terbuang percuma.

“Hanya karena ambisi pribadi seseorang, lalu diadakanlah PSU ini. Setahu saya ini bukan PSU, tapi pemilu ulang namanya. Kalau PSU hanya di beberapa tempat atau Tempat Pemungutan Suara (TPS), namun ini dilaksanakan di 19 kabupaten/kota se-Sumbar, ini yang saya sayangkan,” katanya, kemarin.

Emma menghormati hasil dari PSU yang masih menempatkan empat nama teratas selain dirinya, yakni Cerint Iralloza Tasya, Muslim M
Yatim, Jelita Donal dan Irman Gusman. Meskipun demikian, dirinya menunggu hasil pasti dari KPU.


“Namun, PSU ini merugikan kami, karena kami tidak diperbolehkan berkampanye. Hal ini
merugikan seluruh peserta pemilu DPD sebelum adanya PSU ini. Lalu tiba-tiba, masuk
lagi orang yang sebelumnya tidak terdaftar dan
kemudian ikut dalam kontestasi pemilihan,”
katanya.

Selain itu, Emma juga menyoroti minimnya sosialisasi PSU yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, yakni KPU. Dengan anggaran PSU ini, KPU harusnya bisa lebih maksimal lagi melakukan sosialisasi terhadap pelaksanaan PSU DPD Sumbar.


“Bahkan, hingga hari pencoblosan masih ada masyarakat yang tidak mendapatkan undangan untuk mengikuti PSU DPD RI. Anggaran sebanyak itu jika digunakan untuk pos pendidikan dan kesehatan serta infrastruktur,” katanya.

Kemudian, sosialisasi yang dilakukan oleh KPU Sumbar tidak menyeluruh dan kurang optimal dengan hanya memberikan surat undangan serta kertas spesimen daftar calon anggota DPD RI.

“Okelah sosialisasi dilakukan juga di media massa dan media sosial. Namun bagaimana
dengan masyarakat yang belum mempunyai
perangkat seluler dan jaringan telekomunikasi
mumpuni, terutama di kawasan pinggiran dan
pedesaan. Mereka banyak bertanya, PSU itu apa, lalu siapa yang di PSU-kan, kenapa diadakan PSU segala macam. Hal seperti ini luput oleh penyelenggara pemilu. Ini yang kami sayangkan,” katanya. (*)

Exit mobile version