Ratusan Wakil Rakyat Dilantik, LKAAM Sumbar Minta Konsekuensi Sumpah Jabatan Dipertanggungjawabkan Dunia Akhirat

PADANG, HARIANHALUAN.ID – Ratusan orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pemenang pesta demokrasi Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota se Sumatra Barat, resmi dilantik dan diambil sumpah jabatan sejak beberapa hari terakhir

Seiring proses itu, seluruh aspirasi perjuangan, mimpi dan harapan jutaan masyarakat Sumbar kini resmi beralih ke pundak ratusan wakil rakyat terpilih. Mereka diharapkan bekerja penuh amanah serta mempertanggung jawabkan segala tindakan, perbuatan maupun kebijakan yang diambil baik itu di dunia maupun akhirat.

Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat menitip pesan. Seluruh wakil rakyat terpilih harus ikut menjaga dan memelihara sebaik mungkin tatanan adat dan budaya Minangkabau yang ada.

“Mereka juga harus memperhatikan kearifan lokal Minangkabau sesuai filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah atau ABS-SBK dalam bekerja maupun bertindak mengambil keputusan,” ujar Dewan Pakar LKAAM Sumbar, Prof, Dr, Drs Alwan Bentri S,Pd, M,Pd Datuak Lelo Anso kepada Haluan Rabu (28/8).

Tokoh adat asal Luhak Limopuluah yang juga merupakan guru besar Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang (UNP) ini menegaskan, seluruh kebijakan dan keputusan yang diambil para legislator terpilih harus dipastikan benar-benar berpihak kepada daerah dan Minangkabau secara luas.

Sebab kenyataannya, para anggota dewan adalah penerima mandat sah dari rakyat selaku pemilik kedaulatan. Untuk itu, seluruh ucapan dan tindakan mereka harus selaras dengan filosofi ABS-SBK yang dijunjung tinggi masyarakat Sumbar.

“Hal itu penting dan urgent untuk diperhatikan para pemimpin. Sehingga Minangkabau beserta adat dan budayanya tidak boleh mengalami krisis kemunduran. Apalagi stagnan,” jelasnya.

Prof Alwen Bentri Datuak Lelo Anso menyebut, ada beberapa isu krusial yang perlu menjadi perhatian para anggota DPRD Provinsi Sumbar maupun Kabupaten Kota terpilih . Salah satunya adalah soal eksistensi tanah ulayat yang hari ini kian terancam keberadaannya.

Selaku pemuka adat, LKAAM mendorong semua pihak untuk bersama-sama memperkuat dan melindungi eksistensi Tanah Ulayat yang masih tersisa.

Baik itu tanah Ulayat nagari, ulayat kaum dan lain sebagainya. Unsur pemerintah daerah mulai dari tingkatan Nagari, harus ambil peran untuk menjaga eksistensi tanah ulayat.

“Nah, kalaupun saat ini ada kebijakan dari Badan Pertanahan Nasional untuk mensertifikatkan tanah ulayat, itu namanya adalah sertifikat komunal. Bukannya sertifikat orang perorangan,” tegasnya memperjelas posisi tanah ulayat dihadapan hukum positif negara.

Berdasarkan program sertifikasi tanah ulayat yang saat ini sedang dicanangkan Kementrian ATR-BPN, kata dewan pakar LKAAM ini, tanah ulayat nagari hanya bisa disertifikatkan atas nama Kerapatan Adat Nagari atau KAN.

Begitupun dengan tanah ulayat milik suku. Tanah tersebut hanya bisa disertifikatkan atas nama Niniak Mamak kaum bersangkutan.

“Sertifikat tanah ulayat ini adalah sertifikat komunal, bukan orang per orangan. Jadi tanah ulayat tidak bisa digadaikan. LKAAM terus berupaya untuk memperkuat regulasi seperti itu agar tanah Ulayat tidak tidak hilang,” ucapnya.

Berdasarkan hukum adat yang berlaku di Ranah Minang, persoalan gadai menggadai harato pusako tinggi maupun randah memang telah lama dianggap sebagai suatu hal yang tabu atau bahkan tidak bagus.

Sebab kenyataannya, sistem gadai tidak jauh berbeda dengan sistem riba yang jelas-jelas dilarang oleh agama dan bertentangan dengan filosofi ABS-SBK. Kalaupun tanah ulayat memang terpaksa harus dijual atau digadaikan, ada sejumlah persyaratan dan perkara yang mesti dilalui.

“Seperti Rumah Gadang Katirisan, Anak Gadih Alun Balaki, Mayik Tabujua Ditangah Rumah dan lain sebagainya. Namun sebenarnya, itu semua hanyalah kiasan yang menyatakan bahwa sebenarnya tanah ulayat tidak boleh dijual atau dipindah tangankan,” terangnya.

Bagi masyarakat Minangkabau sendiri, tambah Prof Alwen Bentri Datuak Lelo Anso, keberadaan tanah ulayat sejatinya adalah kehormatan dan jati diri sebagai orang Minang.

“Sako dan Pusako itu bertalian. Kalau Pusako habis, maka punah lah sako. Kalau tanah ulayat sudah hilang, maka tidak bergunalah lagi adanya gelar Datuak dan sebagainya,” jelasnya.

Mengingat begitu krusial dan pentingnya tanah ulayat, maka sudah selayaknya LKAAM Sumbar terus mendorong semua pihak untuk ambil bagian dalam misi besar memperkuat nilai-nilai adat kearifan lokal ini kepada masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya.

“Selaku pemangku adar di tingkat Sumbar maupun Nagari, kita berharap kepada wakil rakyat agar mereka yang ada di dewan Provinsi, Kabupaten Kota untuk ikut memelihara dan menjaga dengan baik adat dan budaya Minangkabau,” pungkasnya.

Pesan serupa kepada para wakil rakyat, juga dititipkan Bundo Kanduang Sumbar, Prof Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib. Ia menegaskan, para wail rakyat terpilih harus benar-benar mewakili rakyat dalam berbuat maupun bertindak.

“Wakil rakyat harus aspiratif dan benar-benar mewakili rakyat. Mereka juga harus amanah dalam menjalankan tugas. Seluruh program yang dijalankan dan diawasi, harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya kepada Haluan Rabu (28/8).

Bundo Raudha Thaib menyebut, salah satu persoalan krusial yang perlu dituntaskan oleh para wakil rakyat terpilih periode ini, adalah upaya perlindungan eksistensi tanah ulayat yang ada di Sumatra Barat.

Meskipun saat ini sudah ada aturan terkait tanah ulayat nagari, kaum , harato pusako tinggi maupun randah, Limbagi dan sebagainya, namun semua aturan itu harus dipulangkan kembali kepada hukum yang berlaku di tengah masyarakat hukum adat Minangkabau.

“Sebelumnya aturan itu sudah ada dan tertata rapi. Namun kini ada lagi aturan, misalnya Ulayat kaum tidak boleh dijual atau dibagi, sekarang sudah macam-macam. Tapi isu itu tidak pernah disentuh. Akhirnya terjadilah konflik antar kaum, antar nagari. Konflik agraria dan sebagainya,” jelasnya.

Bundo Kanduang Sumbar meyakini, meletusnya berbagai konflik dan persoalan yang bermuara kepada eksistensi tanah ulayat, terjadi karena tanah hanya dianggap semata-mata sebagai modal ekonomi saja..

Padahahal seharusnya, tanah ulayat harus dipandang sebagai modal sosial yang sangat penting untuk menjamin keberlangsungan atau kesejahteraan suatu kaum. Utamanya kaum wanita sebagai pewaris sah tanah ulayat.

“Makanya saat ini banyak tanah ulayat yang tergadai. Itu terjadi karena amanat tidak dipegang teguh. Tidak ada komitmen masyarakat adat tentang hak milik dan status tanah dalam adat,” jelasnya lagi.

Lanjut Bundo Kanduang sampaikan, kaum perempuan, adalah pihak yang paling dirugikan atas terus terkikisnya eksistensi tanah ulayat. Sebab kenyataannya, tanah ulayat adalah hak milik wanita didalam kaum.

“Untuk itu kita sangat berharap agar para anggota DPR yang baru dilantik benar-benar mampu memperjuangkan hal ini. Mereka harus membuat regulasi yang tidak merugikan masyarakat,serta memperbaiki hal-hal yang janggal dan tidak sesuai dan akan menyengsarakan masyarakat. Para wakil rakyat harus merasa berhutang kepada rakyat yang memilih mereka,” jelasnya.(*)

Exit mobile version