PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pengamat Politik dari Revolt Institute, Eka Vidya Putra, menilai, mobilisasi dukungan dari Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah salah satu hal yang sering dilakukan kandidat Incumbent dalam setiap kali helatan Pilkada di berbagai daerah. Praktik strategi pemenangan yang mencederai prinsip-prinsip netralitas ASN ini, bahkan sebenarnya telah terjadi jauh sebelum dimulainya helatan Pilkada. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa setiap kepala daerah incumbent, akan mengerahkan segala sumber daya yang tersedia untuk mengunci peluang kemenangan mereka.
“Satu tahun jelang Pilkada, para kandidat incumbent biasanya pasti akan sudah mulai mengarahkan segala sumber daya maupun program kerja mereka demi meningkatkan popularitas dan elektabilitas,” ujarnya kepada Haluan Minggu (3/11).
Sejak setahun jelang periodesasi kepemimpinan berakhir, sambung Eka, kandidat kepala daerah incumbent biasanya sudah akan merancang program-program populis yang melibatkan dan menyenangkan banyak orang. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas. Lewat cara ini, mereka akan dianggap sebagai pemimpin yang pro rakyat. Kesan dan citra diri yang sengaja dibentuk ini, akan menjadi modal utama bagi kandidat incumbent yang masih memiliki kemungkinan maju di Pilkada berikutnya.
“Nah, kegiatan-kegiatan ataupun program kerja yang diselenggarakan dengan semangat terselubung seperti inilah yang rawan dilakukan kandidat petahana dengan memanfaatkan para jajaran ASN sampai tingkatan terbawah,” ungkapnya.
Eka Vidya menyebutkan, potensi pelanggaran netralitas ASN, telah menjadi perhatian bagi banyak pihak dalam setiap pemilu pasca orde baru hingga saat ini. Bawaslu bahkan telah menyatakan pelanggaran netralitas ASN sebagai salah satu kerawanan pemilu utama. “Sebab para ASN ini sangat rawan dimanfaatkan kepala daerah yang dalam hal ini merupakan petahana untuk memobilisasi dukungan,” ujar Eka.
Eka Vidya meyakini, dalam setiap kali helatan Pilkada, ASN selalu berada dalam situasi yang serba dilematis. Mereka dituntut sepenuhnya patuh kepada kepala daerah selaku atasan. Namun di sisi lain, pekerjaan harian maupun atau program-program yang mereka kerjakan mereka juga rawan dipolitisir. “Apalagi saat ini kultur budaya kerja ASN kita saat ini masih berwatak feodalis. Dimana kata-kata atasan tidak bisa dibantah. Kepatuhan ini juga akan sangat menentukan keberlangsungan karir mereka di masa depan,” ucapnya.
Namun begitu, Eka Vidya menilai, kasus-kasus pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada juga sulit dibuktikan dan cenderung masih mengandalkan pelaporan pelanggaran semata. Untuk itu, Bawaslu jelas harus bekerja ekstra keras untuk menertibkan pelanggaran jenis ini. “Jika memang benar-benar serius menjaga integritas penyelenggara pemilu, Bawaslu memang harus memperkuat sistem pemantauan yang dilakukan. Terutama terhadap potensi kerawanan pelanggaran netralitas ASN ini,” tuturnya. (*)