“Cerpen saya masuk yang terbaik oleh Kompas dan saya diundang ke Jakarta untuk pertama kalinya. Navis mengapresiasi saya dengan mengatakan ‘Lah salevel wak mah, lah sameja kito’. Bagi saya, apresiasi itu jadi penghargaan terbaik saya ketimbang tulisan saya terpilih di Kompas waktu itu,” katanya.
Dan yang perlu menjadi contoh, kata KaWe, bahkan yang paling penting dari Navis, adalah tentang sikap baik dan nilai-nilai yang diberikannya, meski selalu dalam lagak cemoohnya.
Di balik lagak cemoohnya, di baliknya itu lagi Navis menunjukkan sikap pedulinya. Satu hal yang ditekankan Navis, bahwa jadikan menulis itu sebuah kebanggaan.
“Kebanggan menulis yang dimaksud ini, ketika Navis selalu mengusahakan dan membawa istrinya ikut di setiap undangan sastra. Ini bukan tentang sebatas sayangnya kepada istri dan keluarga, tapi Navis ingin menunjukkan bahwa menulisnya itu sebagai profesi yang harus membanggakan, termasuk kepada istri dan keluarganya. Navis ingin menunjukkan itu,” kata KaWe yang juga merupakan jurnalis tersebut.
Begitu juga yang disampaikan kritikus sastra dari Unand, Ivan Adila. Ivan yang juga menulis buku tentang jalan panjang AA Navis itu mengatakan karakter seorang Navis telah terbentuk oleh lingkungan dan pendidikannya.
“Meski tak tamat pendidikannya, Navis pernah mengenyam pendidikan di INS Kayu Tanam. Di sana Navis belajar melukis, bermusik, dan menulis. Banyak hal yang didapatkan Navis bisa kita sebut kalau INS Kayu Tanam bisa jadi sekolah terbaik di masa itu, karena kebebasan pendidikan yang diberikan waktu itu,” katanya.
Hal-hal yang selalu kreatif dan inovatif dalam pendidikannya, jelas Ivan, menumbuhkan sensitivitas dalam pengkaryaannya. Terlihat, dalam pengkaryaan karya cerpen misalnya, Navis begitu kuat dengan ketokohan dan penceritaannya.