PADANG, HARIANHALUAN.ID– Tepat pada 17 November kemarin, jadi hari kelahiran seorang sastrawan besar asal Padang Panjang. Namanya Ali Akbar Navis. Di 17 November itu tepat mengenang hari ulang tahunnya yang ke-100 tahun.
Terbesit tentang AA Navis, kesastrawanannya dikenal sebagai pencemooh besar di karya sastranya. Ia tukang satire di era pujangga baru yang kerap membuat gaduh dunia sastra. Setelah karyanya, terbitlah persoalan-persoalan baru yang membahas karya sastranya.
Selalu begitu. Karyanya tak pernah lepas dari kritikan-kritikan. Tapi itulah yang menghidupkan AA Navis sebagai sastrawan yang dikenal pencemooh.
Namun kritik dan cemooh yang dihadirkan dalam sastranya itu memang bagian dari cerminan AA Navis. Tapi apa yang dihadirkan dalam karya sastranya, yang selalu dikonotasikan oleh orang-orang tentang hal yang buruk, nyatanya bukan demikian.
Justru karya sastra Navis yang penuh satire itu memiliki daya kritik dan kritis yang luar biasa terhadap jalannya kesusastraan di Indonesia.
Pada 100 Tahun Peringatan AA Navis, pengamat, teman sejawat, dan puluhan sastrawan dari Sumbar menyelami lebih dalam tentang dirinya, pada Temu Sastra 100 Tahun Peringatan AA Navis di Galeri Taman Budaya Dinas Kebudayaan Sumbar, Sabtu (23/11/2024) kemarin. Di balik karya sastranya yang kritis, orang-orang membicarakan sikapnya.
Yusrizal KW, seorang pegiat literasi yang pernah mengikuti langkah Navis, bercerita tentang Navis dengan cara cemoohnya mendukung KaWe (panggilan akrab Yusrizal KW), untuk lebih gigih menulis. Dukungan itu, menurut KaWe, seperti mendapatkan lompatan tertinggi untuk proses dirinya menulis.
“Cerpen saya masuk yang terbaik oleh Kompas dan saya diundang ke Jakarta untuk pertama kalinya. Navis mengapresiasi saya dengan mengatakan ‘Lah salevel wak mah, lah sameja kito’. Bagi saya, apresiasi itu jadi penghargaan terbaik saya ketimbang tulisan saya terpilih di Kompas waktu itu,” katanya.
Dan yang perlu menjadi contoh, kata KaWe, bahkan yang paling penting dari Navis, adalah tentang sikap baik dan nilai-nilai yang diberikannya, meski selalu dalam lagak cemoohnya.
Di balik lagak cemoohnya, di baliknya itu lagi Navis menunjukkan sikap pedulinya. Satu hal yang ditekankan Navis, bahwa jadikan menulis itu sebuah kebanggaan.
“Kebanggan menulis yang dimaksud ini, ketika Navis selalu mengusahakan dan membawa istrinya ikut di setiap undangan sastra. Ini bukan tentang sebatas sayangnya kepada istri dan keluarga, tapi Navis ingin menunjukkan bahwa menulisnya itu sebagai profesi yang harus membanggakan, termasuk kepada istri dan keluarganya. Navis ingin menunjukkan itu,” kata KaWe yang juga merupakan jurnalis tersebut.
Begitu juga yang disampaikan kritikus sastra dari Unand, Ivan Adila. Ivan yang juga menulis buku tentang jalan panjang AA Navis itu mengatakan karakter seorang Navis telah terbentuk oleh lingkungan dan pendidikannya.
“Meski tak tamat pendidikannya, Navis pernah mengenyam pendidikan di INS Kayu Tanam. Di sana Navis belajar melukis, bermusik, dan menulis. Banyak hal yang didapatkan Navis bisa kita sebut kalau INS Kayu Tanam bisa jadi sekolah terbaik di masa itu, karena kebebasan pendidikan yang diberikan waktu itu,” katanya.
Hal-hal yang selalu kreatif dan inovatif dalam pendidikannya, jelas Ivan, menumbuhkan sensitivitas dalam pengkaryaannya. Terlihat, dalam pengkaryaan karya cerpen misalnya, Navis begitu kuat dengan ketokohan dan penceritaannya.
Hal itu dikarenakan sensivitasnya yang tinggi, sehingga mampu memahami segala aktivitas sosial dan mendalami ketokohan dengan baik dalam karya sastranya.
Belum lagi di Padang Panjang yang juga menjadi salah satu sarangnya intelektual, di mana Navis mampu ambil bagian dalam kerja intelektualnya dalam menulis. Kondisi-kondisi seperti inilah yang semakin menguatkan Navis menjadi seorang sastrawan yang dikenal.
“Saya menekankan menulis karya sastra itu merupakan kerja intelektual. Seperti Navis, tidak tamat sekolah, tapi karyanya selalu hidup sampai sekarang. Misalnya buku Alam Takambang Jadi Guru saja, selalu menjadi buku wajib pendidikan keminangkabauan,” ujar Ivan Adila.
Menumbuhkan Daya Kritik dan Kritis AA Navis
Rasa haru tak ternilai, Gemala Ranti, yang merupakan anak kandung AA Navis, tak menyangka atas apa yang diperjuangkan oleh pemerintah daerah dan pusat untuk pengakuan AA Navis kepada UNESCO. Sebab, ia tak tahu menahu dengan hal proses itu.
“Alhamdulillah, perayaan 100 tahun AA Navis ini perayaan yang luar biasa, walaupun kami keluarga tidak tahu tentang usulan ini oleh Badan Pengembangan Bahasa Kemendikbudristek. Kami tahu ketika usulan itu di Desember lalu menang yang ternyata hari kelahiran beliau ditetapkan sebagai hari internasional oleh UNESCO,” katanya.
Selepas itulah, rentetan kegiatan tentang peringatan AA Navis dilakukan, mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional dan bahkan internasional. Kesastrawanan AA Navis diperkenalkan ke dunia karena mampu memberikan pengaruh besar dalam karya sastra.
Lebih lanjut, Kepala Dinas Kebudayaan Subar, Jefrinal Arifin, menjelaskan peringatan AA Navis ini bertujuan untuk memasyaraktakan pola pikir dan nilai-nilai yang diberikannya dalam kesusastraan, terutama di Sumbar sendiri.
“Daya kritik dan kritis pada gagasan yang dihadirkan Navis dalam karya sastra bisa kita kembangkan kepada generasi muda. Banyak nilai-nilai positif yang dihadirkan, sehingga selanjutnya generasi muda kita memahaminya,” katanya.
Pada momen peringatan ini, kata Jefrinal, menjadi pintu gerbang untuk lebih meluaskan lagi nilai-nilai yang disuguhkannya melalui sastra, dimana daya kritik dan kritisnya dalam kesusastraan bisa tumbuh di kalangan generasi muda yang tak hanya menyoal sastra saja, tapi dari berbagai aspek lainnya yang bisa saling berperan. (*)