Ajo Sidi memang kurang ajar. Bualannya tentang Haji Saleh menyebabkan kakek itu bunuh diri. Kini kakek itu sudah tidak ada lagi. Sekarang tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Ajo Sidi, Ajo Sidi, Ajo Sidi. Ajo Sidi memang kurang ajar.
Prolog itu mengantar cerita ke panggung. Empat orang kaum ibu tengah menumbuk lesung. Tontonan – manumbuak lasuang – tak hanya menunjukkan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau. Ada cerminan musyawarah mufakat yang disimbolkan – sebagai akar kehidupan orang Minangkabau.
Di antara bunyi lesung yang saling menyambut, lantunan ayat suci dilantunkan oleh seorang laki-laki yang duduk di kursinya.
Di awal pertunjukannya, tiba-tiba seorang gadis menyela, memasuki panggung di antara tumbukan lesung yang berbunyi dan seorang laki-laki yang mengaji.
Si gadis penyela itu hadir dengan stelan yang jauh berbeda dari kaum ibu dan seseorang yang mengaji.
Ia seperti orang dari masa depan cerita. Baju motif bunga dan celana ala 90-an bersalin di tubuhnya. Bila membaca tanda-tanda yang dihadirkan, gadis penyela itu selaku pengangkut ceritanya. Ia bak pelaku yang menyeberangi jalannya pertunjukan dari babak ke babak.
Agaknya memang demikian. Kehadirannya yang berlawanan dengan suasana panggung, gadis penyela benar mengatur cerita. Ia seakan membawa masalah dari masa lalu itu ke masa kini. Bisa saja, buntutnya mengangkut masa lalu karena masalah itu masih terjadi juga hari ini. Dan kehendak si gadis penyela memang ingin membawakannya.
“Ini cerita, bukan cerita sesungguhnya. Tapi hanya dongeng, yang dapat disangkal kebenarannya,” kata gadis menyela pertunjukan.