Lagu ini melanjutkan panggung yang tengah diperankan. Dengan babak dan suasana yang lain. Di panggung hanya ada seorang kakek. “Kurang ajar dia,” kata si kakek mengasah pisaunya. Si kakek mengenang bualan Ajo Sidi tentang Haji Saleh, yang menjadikan kakek bunuh diri.
Tiba-tiba seorang anak muda menghampiri sang kakek. Mereka bercerita tentang kelakuan Ajo Sidi. Si kakek pun mengingat masa lalunya. Dengan memandang pisau yang diasahnya, penuh dengan dendam. “Iya (marah) kalau aku masih muda. Sekarang aku sudah tua,” timpal kakek bercerita.
Kakek terus bergumam. Kata-kata penuh dendam, ingin kembali ke masa lalunya. “Aku dikatakannya manusia terkutuk,” kata kakek merapal jelas masa lalunya.
Inti cerita mulai dilihatkan. Selepas pertengahan pertunjukan, seorang laki-laki dan perempuan dalam dimensi dan ruang yang berbeda. Ruang yang mereka anggap tidak sepatutnya mereka berada di sana — seperti di alam penghakiman.
Suasananya dalam sorotan lampu yang memerahi panggung. Merah yang gelap.
Mereka tidak senang. Mereka protes kepada tuhannya dalam ruang yang tidak mereka terima itu. Sebagai hamba yang baik dan terbaik (katanya), mereka menganggap bukan inilah tempatnya. Tuhan tidak berlaku adil, dan mereka meminta keadilan segera kepada tuhan.
Mereka berkata kalau merekalah yang paling taat dan tahu tuhan. Ia merasa taat dan sedikit pun tidak pernah meninggalkan tuhan. Tapi mengapa akhirnya mereka ditempatkan di tempat yang tidak seharusnya?
Ketidakterimaannya bersambung dalam cerita baru, dalam suasana yang sama. Kain-kain putih bergerak dan melayang – menghampiri mereka yang tak hentinya mengumpat. Barangkali ini malaikat, atau juga diri-diri lain yang suci. Kain-kain putih itu menjawab umpatan demi umpatan mereka berdua.
Setelah ketidaksanggupan sepasang manusia itu menjawab cercaan dari kain-kain putih yang berbicara, seketika lampu pertunjukan padam – diringi suara-suara teriakan yang juga menghilang.