Sudut pandang yang sama, cara berpanggung berbeda. Gaung Ganto melihatkan penceritaan di panggung dengan gaya pertunjukannya yang diarahkannya dalam jalur surealis. Sutradara terlihat memvisualkan cerita ke dalam penyimbolan-penyimbolan.
“Saya arahkan ini ke surealis. Saya dominasikan visual saja. Di antara visual itu saya intikan pertunjukannya melalui simbol-simbol yang saya harap bisa ditangkap penonton. Ini yang membedakan dari garapan Hermana HMT,” kata Hadi Gustian.
Biasanya, selepas pertunjukan, kata sempurna tidak ditemukan. Begitu juga yang dikatakan Hadi. Katanya, dalam prosesnya, ada beberapa faktor yang tak bisa dielakkan. Sehingga penggarapan dan kondisi produksi menjadikan “Robohnya Surau Kami” dalam gaya surealis. Cerita lama mampu dibawa dengan segar oleh Gaung Ganto.
“Kami terbatas dengan pemain yang rata-rata masih usia sekolah dengan aktivitasnya masing-masing. Kami menyadarinya. Karena berbagai persoalan dan juga karakter, surealis jadi jalan tengah. Ketidakmungkinan pemain untuk bisa memaksimalkan tokoh, jadi saya intikan pertunjukan ini melalui simbol-simbol yang cukup sederhana,” katanya.
Meski hadir dalam cerita dan panggung yang sama (Hermana HMT-Gaung Ganto), tapi peralihan jalur realis ke surealisnya Gaung Ganto mampu menyegarkan pertunjukan dan menjadi pembeda.
Sutradara Hadi Gustian sepertinya memiliki dasar asumsi bahwa memori-memori tentang cerita “Robohnya Surau Kami” telah mendasar dalam diri sebagian besar penonton. Sehingga pertunjukan Gaung Ganto lebih memvisualkan aktivitas pertunjukan melalui simbol-simbol yang ada di setiap babaknya. Dan penonton pun bisa terfokus pada penyimbolan sebagai pemaknaan baru dan pembaharuan dalam pertunjukan “Robohnya Surau Kami” oleh Komunitas Seni Gaung Ganto tersebut. (*)