‘Robohnya Surau Kami’ oleh Gaung Ganto, Mengangkut Masa Lalu ke Masa Kini

Pertunjukan Robohnya Surau Kami oleh Komunitas Seni Gaung Ganto pada FNJ TGL3 di Gedung Manti Menuik Ladang Tari Nan Jombang, beberapa waktu lalu. IST

Pertunjukan Robohnya Surau Kami oleh Komunitas Seni Gaung Ganto pada FNJ TGL3 di Gedung Manti Menuik Ladang Tari Nan Jombang, beberapa waktu lalu. IST

Ajo Sidi memang kurang ajar. Bualannya tentang Haji Saleh menyebabkan kakek itu bunuh diri. Kini kakek itu sudah tidak ada lagi. Sekarang tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Ajo Sidi, Ajo Sidi, Ajo Sidi. Ajo Sidi memang kurang ajar.


Prolog itu mengantar cerita ke panggung. Empat orang kaum ibu tengah menumbuk lesung. Tontonan – manumbuak lasuang – tak hanya menunjukkan sosial dan budaya masyarakat Minangkabau. Ada cerminan musyawarah mufakat yang disimbolkan – sebagai akar kehidupan orang Minangkabau.


Di antara bunyi lesung yang saling menyambut, lantunan ayat suci dilantunkan oleh seorang laki-laki yang duduk di kursinya.


Di awal pertunjukannya, tiba-tiba seorang gadis menyela, memasuki panggung di antara tumbukan lesung yang berbunyi dan seorang laki-laki yang mengaji.

Si gadis penyela itu hadir dengan stelan yang jauh berbeda dari kaum ibu dan seseorang yang mengaji.


Ia seperti orang dari masa depan cerita. Baju motif bunga dan celana ala 90-an bersalin di tubuhnya. Bila membaca tanda-tanda yang dihadirkan, gadis penyela itu selaku pengangkut ceritanya. Ia bak pelaku yang menyeberangi jalannya pertunjukan dari babak ke babak.


Agaknya memang demikian. Kehadirannya yang berlawanan dengan suasana panggung, gadis penyela benar mengatur cerita. Ia seakan membawa masalah dari masa lalu itu ke masa kini. Bisa saja, buntutnya mengangkut masa lalu karena masalah itu masih terjadi juga hari ini. Dan kehendak si gadis penyela memang ingin membawakannya.


“Ini cerita, bukan cerita sesungguhnya. Tapi hanya dongeng, yang dapat disangkal kebenarannya,” kata gadis menyela pertunjukan.

Pertunjukan “Robohnya Surau Kami” garapan Hermana HMT – adaptasi cerpen “Robohnya Surau Kami” karya AA Navis – yang dimainkan Komunitas Seni Gaung Ganto ini tetap memakai konsep sama yang lepas dari realisnya Hermana HMT.


Pertunjukan ini membawa penonton ikut serta ke dalam panggungnya. Cara ini sedikit menarik. Kisah lalu harus mampu dikisahkan dengan renyah. “Robohnya Surau Kami” pada pertunjukan ini menunjukkan masalah, bukan nostalgia.


Tentang “Robohnya Surau Kami” ini benang merahnya orang sudah tahu dan mengerti. Begitu pun dalam tranformasinya ke panggung pertunjukan. Kehadiran gadis yang menyela di awal pertunjukan itu ingin memberi magnet kepada penonton, agar cerita yang telah pasai didiskusikan di kalangan sastra ini, tetap layak dibicarakan kembali.


Melalui tindak dan tutur lakon, relevansi dari cerita itu dengan masa kini tetap ada. Dan “Robohnya Surau Kami” oleh Gaung Ganto ini hadir untuk menjemput kembali persoalan masa lalu, yang dibawanya ke masa kini kepada penonton yang hadir melalui gaya surealisnya.


Lalu, gadis si penyela itu kembali berkata. Ia mengisyaratkan panggung yang dianggapnya dongeng, bisa saja ada benarnya pula. Inilah yang dirasa relevansi yang menguatkan bahwa pertunjukan ini benar-benar mengajak penonton terlibat ke dalam panggung cerita.


Setelahnya, salah seorang perempuan dengan lesungnya, bertutur dengan sedihnya. Menyambung kembali cerita – setelah disela si gadis penyela. Tapi sedihnya hanya patah di jalan. Nuansa sedih diputus lagi si gadis penyela, dan meminta cerita dipanggungkan dengan dialog-dialog yang dipenuhi kebahagiaan.


Dalam tanda kutip, ‘dialog-dialog yang dipenuhi kebahagiaan’ yang dimintai si gadis penyela seperti menurut tuturnya, cerita lama tak harus disampaikan dengan cara lama. Harus ada cara baru, untuk menceritakan kabar lama ini.
Hubungan inilah yang dikuatkan lagi si gadis penyela, bahwa puncak masalah dari “Robohnya Surau Kami”, tetap layak dibicarakan. Mungkin saja, Gaung Ganto menegaskan masalah itu tetap terjadi.


Ajo Sidi, O Ajo Sidi. Pekerjaannya sindir menyindir. Menjerat hati setiap orang. Jadi sumber ejekannya.


Lagu ini melanjutkan panggung yang tengah diperankan. Dengan babak dan suasana yang lain. Di panggung hanya ada seorang kakek. “Kurang ajar dia,” kata si kakek mengasah pisaunya. Si kakek mengenang bualan Ajo Sidi tentang Haji Saleh, yang menjadikan kakek bunuh diri.


Tiba-tiba seorang anak muda menghampiri sang kakek. Mereka bercerita tentang kelakuan Ajo Sidi. Si kakek pun mengingat masa lalunya. Dengan memandang pisau yang diasahnya, penuh dengan dendam. “Iya (marah) kalau aku masih muda. Sekarang aku sudah tua,” timpal kakek bercerita.


Kakek terus bergumam. Kata-kata penuh dendam, ingin kembali ke masa lalunya. “Aku dikatakannya manusia terkutuk,” kata kakek merapal jelas masa lalunya.


Inti cerita mulai dilihatkan. Selepas pertengahan pertunjukan, seorang laki-laki dan perempuan dalam dimensi dan ruang yang berbeda. Ruang yang mereka anggap tidak sepatutnya mereka berada di sana — seperti di alam penghakiman.


Suasananya dalam sorotan lampu yang memerahi panggung. Merah yang gelap.
Mereka tidak senang. Mereka protes kepada tuhannya dalam ruang yang tidak mereka terima itu. Sebagai hamba yang baik dan terbaik (katanya), mereka menganggap bukan inilah tempatnya. Tuhan tidak berlaku adil, dan mereka meminta keadilan segera kepada tuhan.


Mereka berkata kalau merekalah yang paling taat dan tahu tuhan. Ia merasa taat dan sedikit pun tidak pernah meninggalkan tuhan. Tapi mengapa akhirnya mereka ditempatkan di tempat yang tidak seharusnya?


Ketidakterimaannya bersambung dalam cerita baru, dalam suasana yang sama. Kain-kain putih bergerak dan melayang – menghampiri mereka yang tak hentinya mengumpat. Barangkali ini malaikat, atau juga diri-diri lain yang suci. Kain-kain putih itu menjawab umpatan demi umpatan mereka berdua.


Setelah ketidaksanggupan sepasang manusia itu menjawab cercaan dari kain-kain putih yang berbicara, seketika lampu pertunjukan padam – diringi suara-suara teriakan yang juga menghilang.


Dan dalam lampu pertunjukan yang padam, suara-suara baru (dari ruang dan suasana yang baru) hadir dalam gelapnya panggung, sampai lampu pertunjukan menyala – menghadirkan suasana orang-orang yang sedang berjualan di pasar. Orang-orang di pasar berteriak menjajalkan jaganya.


Suasana pasar seperti lari dari babak sebelumnya. Visual yang dihadirkan seperti dipatahkan. Hanya cerita yang terbawa ke pasar itu. Sekilas pasar menyimbolkan tempat berlangsungnya mencari-mendapat informasi. Gaung Ganto memang menghendakinya, memberikan tanda dalam “Robohnya Surau Kami” yang dimainkannya.


Lagi dan lagi, si gadis penyela datang lagi di tengah hiruk pikuk pasar. Ia benar-benar terlihat seperti penghubung ruang ke ruang lain, kembali menjembatani cerita antara panggung dan penonton. Ditambah seorang laki-laki dengan stelan yang sama dengan si gadis penyela — keduanya dalam hati yang senang dan bahagia.


Dalam selaannya, si gadis pun menutup cerita. Cerita yang diklisekannya sebagai dongeng, tapi yang tertangkap justru sebaliknya. “Robohnya Surau Kami” benar-benar membingkaikan surau (tanda) yang tetap saja roboh. Gaung Ganto melihatkan peristiwa itu masih ada dan terjadi lewat pertunjukannya.
Dan pertunjukan “Robohnya Surau Kami” pun berakhir, dengan kembali menyanyikan Ajo Sidi si pembual.


Ajo Sidi, O Ajo Sidi. Pekerjaannya sindir menyindir. Menjerat hati setiap orang. Jadi sumber ejekannya.

Sudut Pandang yang Sama dalam Surealis Gaung Ganto


Pertunjukan teater “Robohnya Surau Kami” yang dimainkan Komunitas Seni Gaung Ganto itu bisa dikatakan hampir sama dengan karya yang digarap Hermana HMT — secara sudut pandang. Hanya saja, properti, suasana panggung dan cara penokohan tampil berbeda. Penggarapan yang diinginkan sutradara memang atas kehendaknya. Properti yang terbatas – kursi, lesung, kain putih – tak disia-siakan dalam penggunaannya.


Namun, roh yang disampaikan tetaplah sama. Mungkin saja, Gaung Ganto memang ingin mengangkut masalah lama ke masa kini. Hadi Gustian melihat pemahaman yang masih bersimpang jalan itu masih terjadi dalam kacamatanya.


Sudut pandang yang sama, cara berpanggung berbeda. Gaung Ganto melihatkan penceritaan di panggung dengan gaya pertunjukannya yang diarahkannya dalam jalur surealis. Sutradara terlihat memvisualkan cerita ke dalam penyimbolan-penyimbolan.


“Saya arahkan ini ke surealis. Saya dominasikan visual saja. Di antara visual itu saya intikan pertunjukannya melalui simbol-simbol yang saya harap bisa ditangkap penonton. Ini yang membedakan dari garapan Hermana HMT,” kata Hadi Gustian.


Biasanya, selepas pertunjukan, kata sempurna tidak ditemukan. Begitu juga yang dikatakan Hadi. Katanya, dalam prosesnya, ada beberapa faktor yang tak bisa dielakkan. Sehingga penggarapan dan kondisi produksi menjadikan “Robohnya Surau Kami” dalam gaya surealis. Cerita lama mampu dibawa dengan segar oleh Gaung Ganto.


“Kami terbatas dengan pemain yang rata-rata masih usia sekolah dengan aktivitasnya masing-masing. Kami menyadarinya. Karena berbagai persoalan dan juga karakter, surealis jadi jalan tengah. Ketidakmungkinan pemain untuk bisa memaksimalkan tokoh, jadi saya intikan pertunjukan ini melalui simbol-simbol yang cukup sederhana,” katanya.


Meski hadir dalam cerita dan panggung yang sama (Hermana HMT-Gaung Ganto), tapi peralihan jalur realis ke surealisnya Gaung Ganto mampu menyegarkan pertunjukan dan menjadi pembeda.


Sutradara Hadi Gustian sepertinya memiliki dasar asumsi bahwa memori-memori tentang cerita “Robohnya Surau Kami” telah mendasar dalam diri sebagian besar penonton. Sehingga pertunjukan Gaung Ganto lebih memvisualkan aktivitas pertunjukan melalui simbol-simbol yang ada di setiap babaknya. Dan penonton pun bisa terfokus pada penyimbolan sebagai pemaknaan baru dan pembaharuan dalam pertunjukan “Robohnya Surau Kami” oleh Komunitas Seni Gaung Ganto tersebut. (*)

Exit mobile version