CERPEN: Ibu dan Pandemi

Oleh: DILLA SPd

 BIODATA PENULIS:
Dilla, S.Pd. anak kedua pasangan Bapak H. Daniel dan Ibu Hj.  Nurhaimi, Lahir di Bukittinggi, pada tanggal 8 Juni 1981. Beralamat di Jl. H. Abdul Manan No. 49, Simpang Guguk Bulek, Bukittinggi.
Sekarang berprofesi sebagai Guru di SMP Islam Al-Ishlah Bukittinggi. Menamatkan Kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia UNP  pada tahun 2004.
Penerima anugerah litrasi dengan kategori penulis karya ilmiah populer terbanyak di tahun 2021 ini adalah seorang Alumni SMA 3 Bukittinggi. Ibu muda ini bisa dihubungi melalui email, dillaspd6@gmail.com, Ig; @dillaspd, Fb; Espede Dilla dan nomor Wa; 081363320742. Bisa juga membaca tulisannya melalui blog; dillaspd.my.id.

Ibu dan Pandemi (Oleh: Dilla SPd)

Duh, sulit sekali ini, bikin pusing,” gerutu ibu sabil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Ibu mengeluh saat membantuku mengerjakan PR matematika ini. Ia lalu ke dapur, tak lama berselang kembali lagi ke ruang tamu dengan secangkir teh manis  kesukaannya. Ibu menyeruput teh manis sedikit demi sedikit sembari bermain candy crush saga di telepon seluler pintarnya. Begitulah kebiasaan ibu kalau sedang mengahadapi rumus dan angka-angka. Sebagian menjadi lebih rumit dan berbelit-belit manakala diracik menjadi soal-soal berbentuk cerita. Teh manis dan game candy crush saga adalah obatnya, setelah pusingnya hilang, ia akan kembali membantuku mengerjakan tugas.

Sebenarnya pelajaran matematika yang menyebabkan Ibu pusing adalah tugasku, aku yang sekolah, dan seharusnyalah aku yang pusiang. Namun aku sendiri tidak semuanya paham. Ustazah kalau menerangka  lewat zoom, kurang begitu jelas. Lagi pula aku jarang mengikuti pelajaran daring seperti itu. Boros kuota internet! Bisa habis 400 megabyte sekali pertemuan. Lebih baik kupakai untuk bermain mobile legends, menonton vidio-vidio shorts di youtube, sama-sama boros kuota, tapi tidak bikin pusingkan.

Sebenarnya tidak hanya ibu yang mengeluh karena sulitnya pelajaran sekolah, orang tua teman-temanku pun banyak demikian. Kecuali mereka yang berprofesi sebagai guru, atau yang mampu mengikutkan anak-anaknya ikut les atau bimbingan belajar

Ibu bekerja setengah hari membantu Mak tuo Sali di kedai nasinya. Sepulang dari kedai, ibu bekerja sampingan dengan menjahit mukena bordir. Cukuplah untuk menambah membeli kuota internet  yang saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok. Sedangkan bapak tidak pernah pulang lagi sejak aku kelas dua SD dulu.

Bagi ibu, lebih baik pusing daripada  harus kehilangan uang untuk memasukkan aku les. Karena itulah ibu dengan  telaten akan mencari rumus-rumus melalui google dan youtube agar  bisa membantuku mengerjakan PR matematika. Apabila kuota internet mulai menipis, ibu akan membolak balik halaman buku paket yang dipinjamkan sekolah di awal tahun ajaran. Untung juga ibu tidak terlalu gaptek dengan hal-hal seperti itu, meski hanya ibu rumah tangga ia memiliki ijazah SMA.

Tapi ibu pernah berkata, kalau Ibu tidak menuntut aku harus mendapat nilai 100 atau 90 untuk nilai matematika, minimal KKM saja yaitu 75 kata Ibu. Karena setahuku ibu juga tidak hebat di matematika. Palingan dulu nilai matematika ibu hanya angka enam.

Ibu pernah mengakui kalau pelajaranku saat ini jauh lebih rumit ketimbang zamannya sekolah dulu. Pelajaran SMP kok sulitnya seperti SMA katanya lagi.

Namun anehnya setiap pelajaran matematika yang diajarkan ibu, nilai yang akau dapatkan selalu melewati batas KKM. Bahkana aku pernah memperoleh nilai Sembilan puluh untuk tugas aljabar. Padahal ibu bilang kalau pelajaranku lebih sulit, mungkin ibu kurang sungguh-sungguh saja dulu, batinku.

Sempat terpikir olehku, mungkin aku saat ini sama saja dengan Ibu saat sekolah malas belajar, namun aku dapat pembelaan. Aku kurang memahami matematika, karena memang sangat jarang diajar langsung oleh ustazah. sejak kelas tujuh ini, aku dan teman-teman hanya 10 kali masuk sekolah, itupun hanya diberi tiga buah mata pelajaran dengan waktu yang sangat pendek. Masuk jam 7.30 dan pulang lagi pukul 09.30 karena akan menysuul shif kedua setalah shif pertama. Apa lagi alasananya kalau bukan pandemi.

Sejujurnya, kami senang karena lebih banyak libur. Aku sendiri misalnya, lebih banyak waktu untuk bermain mobile legend, atau menonton vidio di kanal-kanal youtube yanga ku subscribe. Aku juga lebih banyak waktu untuk bermain bola dan chat dengan teman-teman sekolahku.  

Masalahnya adalah ketika tiba waktunya penilaian tengah dan akhir semester. Terutama ketika materi ujiannya adalah bab matematika. Bayangkan, kami harus mengerjakan sejumlah soal dengan batas waktu, dan materinya sama sekali belum pernah kami pelajari secara mendalam. Karena ustazah biasanya hanya memberikan catatan dan contoh soal, lalu tugas-tugas yang harus kami selesaiakan dalam waktu ayng telah ditentukan.

Memang bukan hanya aku yang tertinggal dalam pelajaran sekolah ini. Teman-teman sekelas pun banyak yang senasib dneganku. Tidak paham pelajaran, tapi juga tidak ikut bimbingan belajar karena masalah biaya. Suatu saat ibu pernah berkata sambil mengiburku, katanya yang tertinggal dalam pelajaran bukan hanya aku dan teman-teman lain di Indonesia. Murid-murid sekolah di berbagai Negara juga bernasib sama, bahkan tanpa adanya pandemic pun anak-anak korban perang di Palestina, Suria dan daerah-daerah konflik lainnya telah lebih dulu, bertahun-tahun, belasana tahun kehilangan haknya mendapatkan pendidikan yang layak.

Ibu berpisah dengan Bapak saat aku kelas empat SD. Aku tidak mengerti alsan mereka berpisah, selama aku hidup bersama mereka rasanya semua baik-baik saja. Bapak waktu itu mengatakan bahwa dia akan pulang ke rumah nenek, kira-kira sebulan sebelumnya. Ayah berasal dari luar pulau Sumatra.

Tetapi ketika kutanya akan berapa lama Bapak berada di sana, ia hanya menjawab, “Mungkin agak lama.”

Aku dan Ibu mengantar Bapak ke bandara Minanga Kabau. Bapak memeluk ibu dan mencium keningnya sesaat sebelum memasuki area chekin  bandara. Bapak juga memelukku dnegan hangat sambil berkata, “Kamu harus bisa jaga Ibu ya, dan sekolah yang rajin,” kata beliau waktu itu.

Sejak saat itulah, aku hanya tinggal berdu saja dengan ibu, dan Beliaulah yang memenuhi semua kebutuhanku, menemaniku belajar dan mengantarku ke sekolah sampai aku bisa berangkat sendiri setelah kelas empat.

Ibu bekerja di kedai nasi Mak Tuo Sani, Beliau berangkat ketika aku sudah pergi ke sekolah. Biasanya pulang sekolaha aku akan ke kedai mak Tuo, dan makan di sana. Mak tuo Sani sangat baik kepada kami. Setelah jam tiga, kami baru pulang dan saat itulah ibu mengerjakan semua pekerjaan rumah, menjahit sambil menemaniku belajar.

Ibu akan selalu memeriksa PR ku setipa malam, bukan hanya memeriksa, namun juga membantuku dalam mengerjakan tugas-tugas sekolahku. Aku merasa pandemi telah mengajarkan kepada kami, anak-anak sekolah, betapa berharganya kehadiran seorang guru.

Aku dan banyak temanku tidak mampu menangkap materi pelajaran dnegan hanya membaca buku saja. Jangankan membaca buku pelajaran, mendengarkan penjelsana guru melalaui zoom  pun kami sulit memahami.

Berbeda halnya dengan pembelajaran tatap muka di dalam kelas. Dengan satu atau dua kali pertemuan saja aku akan langsung paham rumus-rumus matematika sesulit apapun itu. Di dalam kelas, ustaz dan ustazah bisa membuat rumus dan angka-angka yang rumit menjadi lebih sederhana.

Kalaupun ada di antara kami yang tidak paham, atau hampir meyerah, ustazah tahu benar cara menyemangati anak-anak didiknya supaya jangan mudah berputus asa. (*)

Exit mobile version