Oleh: Putri Andam Dewi
“Bosan!” Aku benar-benar sudah bosan menjalani rutinitas yang membosankan ini. Setiap hari bertemu siswa, menjelaskan pembelajaran, mengerjakan administrasi sekolah. Belum lagi mengoreksi tugas-tugas siswa yang bertumpuk.
Aku mengajar tiga kelas X, XI, dan XII. Setiap kelas 2 kali seminggu aku masuk ke kelasnya. Banyaknya siswa satu kelas berjumlah 35 orang. Jadi, ada total 175 orang siswa yang aku hadapi setiap hari dengan berbagai tingkah polanya. Tak jarang pula aku akan menghadapi perilaku anak-anak yang membuat emosiku terkadang naik ke ubun-ubun dan kemudian meledak.
“Bosan!” Pokoknya aku akan pindah haluan dari profesiku kini. Aku tak betah lagi! Akan
aku manfaatkan potensiku yang berlatar belakang administrasi perkantoran dan kemahiranku bernegosiasi untuk bekerja di dunia bisnis.
Aku akan melamar pekerjaan sebagai sekretaris atau resepsionis di perusahaan raksasa Persada Nusantara di bidang ekspor impor di kotaku. Pokoknya tekadku sudah bulat, besok pagi aku akan menyerahkan surat pengunduran diriku sebagai guru kepada kepala sekolahku.
Sudah beberapa hari ini perang batin dalam diri yang membuatku resah dan gelisah terus mengusik tidurku. Entah mengapa tiba-tiba saja kebosanan yang amat sangat mengusik hari-hariku.
Aku, Riyuni Indrawati, seorang guru honorer di salah satu SMK swasta favorit di kotaku. Lulusan Universitas Negeri Jakarta, jurusan Administrasi Perkantoran, memiliki sertifikat public speaking dari tempat kursus ternama di Jakarta. Jago Bahasa asing, bernegosiasi pun mahir. Hanya saja, karena takdirku dilahirkan berjenis kelamin perempuan, orangtuaku tidak mengizinkan aku bekerja di kantoran.
Ibu sangat berkeinginan menjadikanku seorang guru. Karena bagi Ibu dan Ayah guru adalah profesi mulia bagi perempuan. Aku sebagai anak tunggal dan semata wayang tentu tak bisa membantah keinginan kedua orangtuaku. Itulah mengapa aku berprofesi sebagai guru meskipun kadang bertentangan dengan keinginan hati.
Suamiku seorang abdi negara polisi RI sering berpindah tugas. Pertemuanku dengan suami saat aku sedang berada di atas kapal ekspedisi perusahaan kawanku, ketika itu aku diminta mendampingi pengiriman barang kebutuhan pendidikan anak-anak ke wilayah Sumatera bagian Sabang tepatnya di Wilayah Aceh. Pak Tengku begitu aku memanggilnya, adalah pengawal di atas kapal tersebut.
Semasa gadis aku agak tomboy, tidak berhijab, rambut ala Lady Diana. Susah menjalin hubungan serius dengan lelaki karena inginnya berpacaran setelah menikah.
Kinanti kawanku yang memperkenalkan kami, karena Adik Tengku adalah suaminya Kinanti. Karena usia kami sudah matang dan sama-sama sudah dewasa dan siap menikah, perkenalannya tak terlalu lama, satu bulan komunikasi lewat maya, bulan kedua dia menikahiku, tentu saja dengan tetap mematuhi prosedur pernikahan ala abdi negara.
Kami juga menikmati honeymoon di atas kapal pesiar dari Sabang sampai pulau Lombok. Selama lima hari. Masihku ingat perlakuan romantisnya padaku, dia melayani apa saja kebutuhanku saat itu. Aku benar-benar dimanjanya. Sampai terucap tanya dari bibirku padanya.
“Mengapa Abang memilihku untuk dijadikan istri?”
“Karena aku melihat jiwa keibuanmu, Dik,” katanya
“Apa yang menyebabkan Adik Yuni menerima lamaranku?” Ujarnya balik bertanya.
“Karena Abanglah lelaki yang mengajak dan meyakinkanku untuk berjilbab menutup aurat.” Kataku menatapnya dengan penuh cinta pengantin baru. Dia merengkuhku, membawa ke dalam pelukkannya mengajakku untuk kembali berlayar menikmati gelombang samudera asmara yang membara yang baru sama-sama kami nikmati.
“Semoga pernikahan kita selalu direstui Allah Swt ya, Bang.” Bisikku mesra di telinganya.
Dengan nafas memburu, dia mengaminkan. “Kutanamkan benihku di rahimmu, Dik, semoga kelak kita mendapatkan anak-anak yang saleh dan salehah, harapnya.
Aku pun kembali diajaknya tenggelam dalam keterlenaan kenikmatan ibadah intim suami istri yang dihalalkan-Nya.
***
“Yuni, bangun, kamu tidak ke sekolah hari ini?” Ibu membangunkan saat azan Subuh berkumandang. Aku yang sedang cuti kodrat perempuan, hanya menjawab “Tidak, Bu, aku kurang enak badan,” selimutku tarik kembali.
Ibu mengusap keningku dan berkata, “Yuni, badanmu demam. Kamu istirahat saja, kubuatkan teh hangat untukmu,” ujar Ibu dengan penuh kasih sayang seraya menatapku dengan penuh cinta kasih seorang Ibu, cintanya yang sepanjang jalan tak terhingga sepanjang masa, bagaikan surya menyinari dunia. Cinta kasihnya itulah yang membuatku sampai kini selalu bersemangat menjalani hidup meski berbagai onak dan duri kulalui mewujudkan mimpi.
Setelah itu, Ibu mengambilkan minum dan obat untukku. “Minumlah dulu obat ini, Yun, setelah itu kamu istirahat lagi, tenangkan pikiranmu, selalu beristighfar, Nak, agar Allah Swt memudahkan semuanya,” ucap Ibuku sambil mengusap kepalaku dengan lembut.
Yuni pun meminum obat tersebut.”Terimah kasih, Bu,” sahutku sambil tersenyum kasih tiada terbilang padanya.“Sekarang, istirahatlah biar tubuhmu membaik,” ujar Ibu lagi. Aku menggangguk menarik selimut memejamkan mata kembali.
Pergolakan batin antara pilihan karir beberapa hari ini sedang mengusik alam bawah sadarku. Ditambah lagi masalah asmara rumah tanggaku yang entah akan berlabuh di dermaga mana.
Suamiku yang berprofesi sebagai abdi negara Polisi Republik Indonesia harus siap dipindah tugaskan ke mana saja. Dua minggu lalu dia dimutasi ke Bieruen Aceh Utara karena misi khusus. Dia dikirim ke Bieruen karena memang orangtuanya berasal dari sana dan masa kecilnya pernah di Aceh Utara.
Di satu sisi, aku ingin sekali ikut suami, berbakti padanya. Di sisi lain aku ingin berhenti menjadi guru karena kejenuhan yang sudah memuncak dan ada tawaran bagus dari Kinanti Pujiastuti kawanku saat kuliah dulu untuk mengisi lowongan manejer Pemasaran atau Kepala Biro Humas pada PT Persada Nusantara di bidang ekspor impor Cabang Jakarta Selatan.
Dilema pun muncul saat kegamangan meninggalkan kedua orangtuaku yang sudah sepuh untuk pergi ke Aceh ikut suami. Tawaran karir yang menggiurkan. Atau berhenti mengajar seperti yang sudah aku rencanakan. Ya Allah, aku benar-benar bingung.
Sungguhku pusing tujuh keliling, pilihan apakah yang akan kuambil demi ridho-Nya kepadaku, sebagai seorang istri dan anak. Apakah aku seorang anak yang egois? Hanya mementingkan karirnya. Tanpa memikirkan suami, dan kedua orangtuaku.
Apakah karena kesibukanku dan kelelahan pikiran yang membuatku sampai hari ini belum dipercaya Tuhan menitipkan keturunan? Meski sudah dua tahun menikah, belum ada tanda-tanda itu sedikit pun padaku. Alam pikiran bawah sadarku selalu melontarkan pertanyaan.
Tetiba aku dikejutkan deringan telepon. Ternyata suamiku terkasih Tengku Muhammad Husen menelepon. “Assalamualaikum…” Kataku memulai percakapan.
“Waalaikumsalam…” Jawab suamiku. “Kamu kenapa Yuni, suaramu kok berubah?”
“Apakah kamu sakit?” Nada penuh kecemasan terucap jelas dari suami yang kuhormati.
“Iya, Bang. Aku tak enak badan sudah dua hari ini. Kini tubuhku sangat lelah dan lemas, tak kuat beranjak dari tempat tidur, tadi aku sudah makan obat yang diberikan Ibu.” Jawabku menjelaskan.
“Iya sudah, jika begitu. Dik Yuni istirahat, banyak minum air putih.”
Baik, Bang. Jawabku patuh.
“Hari ini Abang ada kunjungan ke Polres Meulabuh, doakan Abang selamat pergi dan kembali, pintanya.”
“Selalu, Bang. Doaku selalu terucap untuk suamiku tersayang.” Jawabku sambil tersenyum dan membayangkan dia berada di sisiku saat itu.
“Dik Yun, aku kangen.”
Deg! Jantungku lansung berdebar tak karuan. Kalau ini sudah diucapkannya, biasanya dia sedang berhajat meminta untuk menunaikan kewajibannya sebagai suami.
“Iya, Bang.” Ucapku lirih.
“Aku juga kangen.”
“Segeralah susul aku, Dik Yuni. Kita pindah sementara dulu ke sini. Sampai misiku selesai.” Pintanya dengan penuh pengharapan.
“Aku terisak, baik Bang. Kupikirkan ulang lagi ya, Bang. Bagaimanapun juga aku tak tega meninggalkan Ibu dan Ayah,” ucapku.
“Dik, kamu tak tega meninggalkan Ibu dan Ayah, atau telah kamu terima tawaran Kinanti bekerja di Perusahaannya?”
Aku kaget dan bertanya-tanya mengapa suamiku sampai tahu rencanaku ini. Dia sangat mendukungku untuk menjadi seorang guru, sama seperti Ibu dan Ayah. Hanya itu profesi yang dia izinkan untukku.
“Kok diam, Dik?”
“Benar ya, firasatku?” Katanya melanjutkan.
Aku gelagapan, entah apa yang harus aku jawab. “Eh..tidak apa-apa, Bang, aku hanya mencerna apa yang Abang tanyakan.” Ucapku tak kalah meyakinkan.
“Apakah nafkah materi dariku masih kurang, Dik?”
“Mengapa Adik masih mau bersusah payah bekerja?”
“Pikirkanlah masa depan rumah tangga tangga kita, Dik Yuni, tidakkah Adik ingin memiliki keturunan dari benihku sebagaimana niat dan cita-cita awal pernikahan kita dulu?”
Susulah aku segera ke Aceh karena aku ingin tetap memilikimu sampai akhir hayatku. Kutunggu Adik turun dari kapal honey moon kita dulu di dermaga kerinduanku.
Aku semakin terisak, perasaan berdosa dan bersalah menyelimuti tubuhku sehingga air mata menganak sungai keluar dari mataku. Dalam isak tangisku bertanya, “Masih adakah kapal itu di dermaga Bang menungguku membawaku ke pelukanmu?”
“Tunggu aku Bang, aku akan mendampingimu di manapun Abang berada.”
“Abang…, Abang…tunggu aku…!”
“Yuni, Yuni, bangun! Bangun, Yun!” Tubuhku digoyang-goyang, suara lembut terdengar seperti dari kejauhan.
“Istighfar, Nak. Istighfar!”
Astaghfirullahalazim 3x aku beristighfar. Perlahan kubuka kedua bola mataku, nampak Ibu sedang tersenyum lembut kepadaku. Dari Kejauhan terdengar azan zuhur berkumandang.
“Kamu mimpi di siang hari, Nak?”
Sumpur Kudus, 2 Juli 2022
PROFIL PENULIS Putri Andam Dewi (Puanwi) lahir di Jakarta 10 September 1980, alumni Fakultas Bahasa dan Seni UNP Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat mahasiswa pernah berprofesi sebagai reporter Surat Kabar Kampus Ganto pada tahun 1999-2001. Prinsip hidupnya selalu bersemangat menjalani rutinitas kehidupan ini dan berani mencoba. Dikarunia sepasang keturunan, kini menetap dengan keluarganya di Nagari Sumpur Kudus Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung Sumatera Barat. Berprofesi sebagai guru bertugas di SMK Negeri 8 Sijunjung di Payo Kilangan Manganti Sumpur Kudus mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah. Puanwi merupakan anggota aktif APPBIPA (Afiliasi Pegiat dan Pengajar bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) Sumatera Barat . Ia sangat senang menjalin silaturahmi dan bersahabat dari semua kalangan. Apabila ingin berteman dengannya silakan kunjungi laman FB-nya Puanwi Lestari, IG-nya puanwi¬_lestari, atau ke email puanwilestari@gmail.com dengan senang hati Puanwi akan meresponsnya. Baginya menjalin persahabatan berarti menambah persaudaraan. ***