Suamiku yang berprofesi sebagai abdi negara Polisi Republik Indonesia harus siap dipindah tugaskan ke mana saja. Dua minggu lalu dia dimutasi ke Bieruen Aceh Utara karena misi khusus. Dia dikirim ke Bieruen karena memang orangtuanya berasal dari sana dan masa kecilnya pernah di Aceh Utara.
Di satu sisi, aku ingin sekali ikut suami, berbakti padanya. Di sisi lain aku ingin berhenti menjadi guru karena kejenuhan yang sudah memuncak dan ada tawaran bagus dari Kinanti Pujiastuti kawanku saat kuliah dulu untuk mengisi lowongan manejer Pemasaran atau Kepala Biro Humas pada PT Persada Nusantara di bidang ekspor impor Cabang Jakarta Selatan.
Dilema pun muncul saat kegamangan meninggalkan kedua orangtuaku yang sudah sepuh untuk pergi ke Aceh ikut suami. Tawaran karir yang menggiurkan. Atau berhenti mengajar seperti yang sudah aku rencanakan. Ya Allah, aku benar-benar bingung.
Sungguhku pusing tujuh keliling, pilihan apakah yang akan kuambil demi ridho-Nya kepadaku, sebagai seorang istri dan anak. Apakah aku seorang anak yang egois? Hanya mementingkan karirnya. Tanpa memikirkan suami, dan kedua orangtuaku.
Apakah karena kesibukanku dan kelelahan pikiran yang membuatku sampai hari ini belum dipercaya Tuhan menitipkan keturunan? Meski sudah dua tahun menikah, belum ada tanda-tanda itu sedikit pun padaku. Alam pikiran bawah sadarku selalu melontarkan pertanyaan.
Tetiba aku dikejutkan deringan telepon. Ternyata suamiku terkasih Tengku Muhammad Husen menelepon. “Assalamualaikum…” Kataku memulai percakapan.