Cerpen Karya Putri Andam Dewi
"Hei, Ana! Masih ingatkah padaku?” Tiba-tiba seseorang menyapaku di toko buku sore itu.
Aku menoleh padanya, memutar kembali memoriku. Siapakah dia? Aku mengingatnya dengan cermat.
Ya, aku ingat! Orang di hadapanku ini pernah terukir indah di lubuk hatiku yang paling dalam. "Tak semudah itu aku melupakanmu," gumamku dalam hati.
Kaki tersandung kerikil saja lama membekas di hati. Apalagi manusia gagah ini, pernah menolongku dalam berbagai hal saat kuliah dulu, terutama saat aku sedang sibuk menyusun skripsi.
Kebersamaan kami lebih kurang enam bulan. Dia sering datang ke rumahku bertemu Mama. Kami pernah berjanji untuk menghalalkan hubungan ini dengan ijab kabul akan bersama selamanya, namun entah mengapa setelah dia diwisuda lenyap entah ke mana. Tanpa ada kabar berita. Meninggalkanku dengan ribuan tanda tanya.
Lima tahun sudah aku tak bersua dengannya.
“Masih dong, apa kabar Uda Aldi?” jawabku.
Menyambut uluran tangannya padaku. Pandangan tajam mata elangnya masih menusuk relung hatiku yang paling dalam. Senyuman tampannya masih menggoda jiwa perempuanku. Dengan membalas tatapannya kuberikan senyum terindahku.
“Kamu sendirian, Ana?”
“Iya.” Jawabku
“Uda Aldi dengan siapa?” tanyaku
“Juga sendirian” Jawabnya tegas
“Ayo kita duduk di kafetaria itu, ngobrol.” ajaknya.
Seperti terhipnotis aku mengiringi langkahnya.
“Ana mau pesan apa?” tanyanya padaku ketika pelayan menghampiri meja kami.
“Secangkir kopi robusta!” jawabku sumringah.
“Sama” ucapnya kepada pelayan yang mencatat pesanan dengan cekatan ditambah senyuman nan menawan kemudian berlalu dari meja kami.
“Sukses ya kamu sekarang. Sudah berapa lama kembali dari Turki?” tanyanya.
Kok dia bisa tahu kegiatanku ya, kuberpikir. Apakah dia selalu memantau kegiatanku? Aduh kinikan era digital tentu saja mudah baginya mengetahui apa saja yang aku kerjakan. Tapi apakah aku berteman dengannya di medsos? Aku bertanya-tanya sendiri.
“Sudah seminggu," jawabku.
“Akhirnya kesampaian juga apa yang kamu cita-citakan menjadi pengajar BIPA berkeliling dunia.” ujarnya lagi.
"Turki sudah negara ketiga ya yang kamu kunjungi? Sebelumnya kamu ke Tiongkok dan Jerman.”
Aku hanya tersenyum, dan berucap “Alhamdulliah, Da.”
Ternyata dia benar-benar tahu keberadaan dan kegiatanku selama ini. Mungkinkah dia mencari tahu? Berkelebat pertanyaan dalam hatiku.
“Maafkan aku Ana. Dua tahun lalu aku pergi tanpa pesan dan tiada kabar berita sepatah pun kepadamu. Aku menggantung hubungan kita.”
Dia melanjutkan ceritanya, “Setelah aku wisuda kami kembali ke kampung. Seminggu kemudian Ibuku wafat karena darah tinggi dan serangan jantung ketika mengetahui Ayahku punya istri lagi dan sebagian besar harta Ayah diberikan kepada istri mudanya. Tinggallah harta untuk kami berupa perusahaan manufaktur, rumah tempat tinggal, dan utang-piutang di bank.
Dua minggu setelah Ibu wafat, ayah pun wafat dalam kecelakaan mobil dengan istri mudanya saat kembali ke rumah. Mobilnya jatuh ke jurang setelah ditabrak truk fuso di Sitinjau Lawuik.
Sebagai anak sulung tentu aku kalut dan panik atas musibah itu. Sebagai putra sulung aku harus menyelesaikan persoalan itu segera, dengan mengabaikanmu.” ucapnya tertunduk penuh penyesalan.
“Kini perusahaan peninggalan Ayah sudah kembali stabil, alhamdulillah,” ucapnya.
"Semua harta yang semula diberikan kepada Ibu tiriku kini kembali kepadaku dan Mayang. Mayang adalah adik kandung Aldi. Mereka hanya dua beradik. Umurnya hampir sebaya denganku.
Sebentar lagi Mayang akan wisuda S2 di Universitas Indonesia Jurusan Psikologi, profesinya dosen di Universitas Guna Darma Depok. Mayang sudah menikah dan dikarunia satu orang anak," ujarnya bercerita panjang lebar padaku.
Aku menyimak dengan fokus. Tiada kusangka demikian berat ujian hidupnya. Sungguh salah dugaanku selama ini padanya. Karena kesibukanku sebagai pengajar BIPA kehidupan asmara tak pernah lagi singgah dengan serius di hati.
Berbagai ragam manusia aku kenali namun hatiku masih terpaut erat oleh kenangan dengannya di masa lalu walau dia menggantung hubungan kami. Benarkah aku telah menjadi perempuan yang tertutup hatinya untuk cinta ataukah memang aku trauma untuk menjalin hubungan asmara karena takut ditinggal pergi lagi?
“Bagaimana kabar kehidupanmu, Na, ceritakanlah padaku?” Pintanya sambil menatap tajam menusuk jantungku yang meloncat-loncat karena deg-degan. Mengapa setiap bertemu denganya jantung hatiku tak beraturan seperti ini.
Aku bingung mulai dari manakah aku bercerita? Haruskah kubercerita bahwa aku adalah seorang gadis yang sedang patah hati. Karena pernah berharap lebih kepada lelaki yang pernah dekat denganku saat kuliah dulu. Lelaki yang membantuku dalam urusan akademik sehingga melancarkan segala urusan skripsiku. Lelaki yang pernah terukir indah di hati karena statusnya sebagai kekasih?
Lamaku bimbang, apa yang harus kuceritakan kepadanya. Pengalaman mengajar BIPA-ku yang sudah tiga tahun. Setiap tahun ganti negara sesuai hasil lulus seleksi ataukah kuceritakan padanya bahwa aku tak pernah lagi dekat dengan lelaki selain dia.
Aku masih berharap padanya meskipun hubungan kami masih gantung sampai hari ini. Aku takut, jika aku berharap padanya jangan-jangan dia sudah menikah dan punya anak. Bagaimanapun juga, tidak pernah terniat dalam hidupku untuk berbahagia di atas penderitaan orang lain.
"Apakah kamu sudah berkeluarga, Na?” tanyanya yang membuatku sadar dari lamunan.
Aku tersenyum sambil melemparkan pandangan ke luar jendela kafe kumulai bercerita.
"Sejak Uda tak tahu kabar beritanya dulu, aku lulus seleksi menjadi pengajar BIPA di Jerman. Setahun aku di sana. Setelah dari sana, aku ditugaskan kembali ke Tiongkok, terakhir penugasanku sebagai pengajar BIPA di Turki. Kiniku istirahat dulu, aku lelah, aku ingin menikmati hidupku sebagai perempuan. Lagipula Mama sudah sepuh dia ingin aku mendampinginya.”
"Sejak perpisahan kita dulu aku tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan lelaki, Da. Aku takut ditinggal pergi lagi," Ucapku dengan air mata yang sudah mulai tergenang di pelupuk mata.
“Pandangannya tak lepas dariku rasa penyesalan yang amat sangat terpancar dari bola matanya.
Haruskah ku utarakan niatku ini kepada Ana agar bersedia menerimaku kembali setelah dia lamaku gantung tanpa sebab tanpa alasan apapun. Atau biarlah kami sama-sama sendiri tanpa pendamping hidup? Aku membatin! (*)