CERPEN: Lelaki yang Mencari Stasiun

KARYA: YIN UDE (PENULIS SUMBAWA NTB)

Yin Ude

CERPEN: LELAKI YANG MENCARI STASIUN

Karya Yin Ude

           “Kenapa kamu?

Untuk kedua kalinya Sawitri mendapat pertanyaan dari Pardi, suaminya, setelah untuk kedua kalinya pula perempuan itu kepergok duduk tercenung di dapur warung, seperti ada yang dipikirkan.

           “Apa yang kamu pikirkan? Ada masalah?” cecar Pardi.

           Lelaki itu meletakkan piring dan gelas kotor ke dalam baskom cucian, lalu duduk di kursi di sebelah isterinya.

           Sawitri menatap Pardi. Ia ragu untuk mengungkapkan isi hatinya.

           “Jangan ragu, ayo!” perintah yang ditatap.

           “Mas ingat ucapan ojek yang minum kopi pagi-pagi tadi?” ucap Sawitri lirih.

           “Subhan? Namanya Subhan. Tentang lelaki tua asing yang  mencari stasiun bus dua hari yang lalu itu?” sambut Pardi.

           Sawitri mengangguk. “Saya ndak berhenti memikirkan hal itu,” katanya. “Saya kok, tiba-tiba khawatir jangan-jangan itu Bapak…”

           “Hah? Sejauh itu?” potong Pardi seraya tersenyum. Nampak ia mengganggap berlebihan pendapat isterinya. “Jangan berpikir yang ndak-ndak. Masa iya, bapakmu yang sudah tua, di Jawa sana, bisa sampai ke sini? Lagi pula untuk apa beliau datang jauh-jauh ke sini? Mencari kamu? Mencari kita? Bukankah beliau sudah memutuskan hubungan denganmu, dengan kita?”

           Sawitri menunduk. Pundaknya tiba-tiba terguncang. Suara isakan pun terdengar.

           “Entahlah, Mas. Entahlah,” ulang perempuan itu di antara tangisnya. “Saya juga merasa bahwa itu tidak mungkin. Tapi saya juga ndak bisa melawan pikiran bahwa bisa saja itu mungkin. Bisa saja lelaki itu  adalah Bapak.”

           Pardi menggaruk-garuk kepala. Ingin tersenyum lagi, tapi kasihan pada isterinya.

           “Kamu terbawa obrolan kita sebulan lalu,” katanya pelan.

           Sebulan lalu mereka berdua membicarakan Suwito, bapaknya Sawitri yang begitu membatu hatinya, yang benar-benar memegang teguh ucapannya lima tahun lalu, bahwa dirinya tidak akan lagi menganggap Sawitri sebagai anak, sebab Sawitri telah bersikeras kawin dengan Pardi, orang yang tidak disenangi oleh sang bapak itu. Surat-surat permintaan maaf Sawitri tak pernah dibalas. Dihubungi lewat ponsel pun tak ditanggapi.

           Sawitri jadi makin kesal dan sebulan lalu ia sudah memutuskan pula untuk berhenti menyurati atau menghubungi bapaknya itu. 

           “Mas masih berpikir ini mustahil, ya?” Mendadak Sawitri bertanya ketika mengangkat wajah.

           Sang suami agak terkejut, merasa isi kepalanya terbaca.

           “Waktu itu kita membicarakan Bapak, kesal pada Bapak. Saya memutuskan tidak lagi ingat-ingat Bapak. Mungkin kemudian Tuhan tidak ingin hubungan saya dengan Bapak akan selamanya retak. Tuhan lalu membuka hati Bapak. Lalu Bapak memutuskan datang menemui kita, datang ke tempat kita.”

           Rentetan kalimat dari bibir Sawitri lebih terdengar sebagai gumaman, berbicara dengan dirinya sendiri. Isakan kemudian menyusul di ujungnya.

           Pardi tertegun. Ia paham dengan gejolak dalam hati isterinya itu. Sebagai anak satu-satunya, Sawitri adalah kesayangan orang tuanya. Sawitri pun sangat menyayangi ibu bapaknya. Sayang ketika Pardi melamarnya, bapak dan ibu Sawitri sangat tidak setuju. Mereka memilih membuang Sawitri daripada menjadikan Pardi menantu.

           Sawitri yang terlalu cinta pada Pardi tak mau kalah. Ia juga memilih pergi dari Jawa, meninggalkan kedua orang tuanya, ikut suami yang tertolak itu jauh ke kota yang didiami sekarang. Mereka menjadi perantau, membangun usaha warung soto ayam di stasiun bus.  

           Pada perjalanan waktu, Sawitri perlahan rindu pada bapak ibunya. Ia berharap bapak ibunya memberi maaf padanya. Tak usah dipungut lagi, cukup dimaafkan saja. Dan rindu serta harapan itu telah mengambang selama lima tahun.

           “Aku pusing, Mas.”

           Pelan-pelan Pardi bangkit, berdiri demi mendengar keluhan perempuan itu.

           “Begini saja, siang ini juga aku akan menemui Subhan. Aku minta kejelasan tentang ciri-ciri lelaki asing tua itu. Lalu aku akan mencari lelaki itu, bila perlu kubawa ke sini. Kamu jaga warung, ya?”

           Pardi tidak ingin mengambil risiko membawa isterinya itu ke rumah sakit. Biasanya kalau sudah banyak berpikir, lalu mengeluh pusing, tekanan darah Sawitri akan meningkat. Lumayan tinggi.

*

           “Kenapa, Mas?”

           Sawitri mendekati suaminya dengan wajah penasaran, campur cemas.

           Pardi yang duduk sendiri di dapur warung hanya diam. Bibirnya bergerak hendak bicara, tapi tak ada suara yang keluar.

           “Ada apa? Mas ketemu dengan Subhan? Mas ketemu lelaki tua itu? Bagaimana, Mas? Bagaimana?” seru Sawitri mendesak.

           Tatapan Pardi lekat ke wajah isterinya, lalu bicara pelan, “aku ketemu Subhan. Dari ceritanya, lelaki tua asing itu ciri-cirinya mirip dengan ciri-ciri bapakmu…”

           “Apa?” Seruan Sawitri kontan meninggi. Wajahnya tegang, matanya melebar. Tangannya pun sontak mencengkeram keras lengan suaminya.

           “Lalu… lalu… sudah tahukah Mas kemana perginya lelaki itu? Lalu kenapa Mas pulang sebelum bisa membawanya ke sini?”

           Pardi meringis karena lengannya sakit.

           “Aku kaget,” katanya. “Aku memilih pulang dulu, memberitahukan hal ini kepadamu sebelum aku pergi mencarinya. Entah kemana, belum jelas, sebab Subhan tidak bisa memberikan informasi lebih banyak. Menurutnya, lelaki tua itu ia dapati sedang duduk di pinggir Jalan Sudirman, hanya mengaku baru turun dari bus. Ia datang dari jauh dan bermaksud mencari stasiun bus. Tidak ada lagi kata-kata lain. Orang tua itu lebih banyak diam…”

           “Apakah Subhan tidak menawari untuk membawanya ke sini, ke stasiun bus ini?” potong Sawitri dengan suara mulai dilatari isakan.

           “Lelaki tua itu menolak, lalu pergi.”

           Kalimat terakhir Pardi mendorong tubuh Sawitri terduduk lemas ke kursi.

Perempuan itu mengangkat kaki dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya.

“Mungkin Bapak ragu untuk mendatangi kita, lalu ia pergi lagi.” Ada keputusasaan di balik kata-kata pilunya.

“Kita tutup warung hari ini. Kita keliling mencari lelaki tua itu. Sekalian nanti kita mampir ke Bidan Tri, kita minta tolong ia mengecek tekanan darahmu.”

Pardi melangkah ke luar. Di sana ia sibuk menutup pintu dan jendela warung. Sawitri bangkit menyusul ketika suaminya itu menyalakan mesin motor.

**

           Jalan Sudirman jaraknya lima belas kilo meter dari stasiun bus. Cukup jauh.

           Sejauh itu Sawitri dan Pardi menentang terik siang di atas motor. Sejauh itu pula keduanya tak henti memerhatikan kiri kanan, mengantisipasi jangan-jangan ada lelaki tua yang mereka cari.

           “Sesuai cerita Subhan, di sini lelaki tua itu turun dari bus,” kata Pardi ketika sampai di Jalan Sudirman, di depan sebuah toko kelontong.  

           “Kenapa bus itu harus berhenti di sini? Kenapa tidak masuk stasiun?” Keluhan Sawitri membuat suaminya menyeringai. Nampaknya karena terbawa perasaan, isterinya itu sampai-sampai menyesali aturan perjalanan bus pula.

           “Bus yang ditumpangi si kakek itu pasti bus antar propinsi yang memang dilarang transit di stasiun kota kita. Kalaupun ada penumpang yang diturunkan, akan diturunkan di pinggir jalan,” terang Pardi. “Ayo kita tanya orang-orang, siapa tahu ada yang melihat kakek itu.”

           Satu jam berjalan, pasutri itu masih mengeraskan hati, terus berusaha mencari tahu tentang keberadaan si lelaki asing dengan menanyai orang-orang di sekitar Jalan Sudirman.

           Dua jam berlalu, keduanya tak mendapat titik terang. Ada empat lima pedagang kaki lima mengaku melihat seorang lelaki tua yang asing dua hari lalu.

           “Orangnya pendek, tapi tidak terlalu pendek. Rambutnya cepak, putih semua. Umurnya kira-kira tujuh puluhan tahun. Tapi kelihatan masih bugar. Mukanya bulat, ada kumis. Pakai kacamata plus,” tutur salah satu dari mereka, yang jangkung. “Ndak jelas orang mana, sebab tidak bicara. Seandainya bicara, bisa kita tahu itu orang Jawa, Sumatera, atau orang mana.”

           “Ya, saat ditanyai ndak mau menjawab. Hanya tersenyum. Pakai tas ransel hitam besar. Isinya penuh,” imbuh seseorang yang matanya sipit.

           “Orang aneh. Biasanya orang lain, kalau mau tahu alamat sesuatu akan bertanya. Tapi lelaki itu hanya berjalan, terus ke arah utara. Aku lihat, tapi entah kemana lagi seterusnya setelah hilang di balik toko di simpangan,” ucap temannya, yang usai bicara bergegas menemui pembeli yang melambaikan tangan padanya.

           Di kursi panjang di emper warung soto kambing Pardi dan Sawitri duduk lesu. Keringat meleleh di muka dan bagian-bagian tubuh lain keduanya. Selain akibat paparan udara panas, juga efek pikiran dan perasaannya yang tegang, yang kalut. Terutama Sawitri.

           “Betul katamu, Mas. Ciri-ciri lelaki asing itu mirip sekali dengan ciri-ciri Bapak,” bisik perempuan itu lirih. “Bapak pendek, suka bercukur dengan potongan cepak. Enam puluhan, hampir tujuh puluh tahun, ya segitu umur beliau. Berkumis, pakai kacamata, pendiam.”

           Pardi tertunduk. Kepalanya pening, terasa penuh karena beban. Lapar juga. Ingin dicetuskan niatnya untuk mengajak isterinya masuk ke dalam warung, makan dulu agar bisa lebih kuat jika hendak meneruskan pencarian. Tapi segera pikirannya mengingatkan bahwa soto kambing bisa memicu naiknya kolesterol dan tekanan darah. Tidak baik buat Sawitri.

           “Kita teruskan penelusuran, atau ke tempat praktek Bidan Tri dulu?”

           Itu kalimat yang meluncur dari bibir Pardi ketika tak tahu lagi harus mengucapkan apa. Tak dijawab, ia melangkah ke motornya yang diparkir.

           Sawitri harus bangkit dari duduk ketika mesin bebek besi itu dinyalakan suaminya.

***

           Kerumunan pengunjung di ujung koridor menuju ruang IGD harus tercerai karena Sawitri berseru keras memerintahkan orang-orang itu memberinya jalan.

           Gegas langkah perempuan itu sampai meninggalkan suaminya di belakang.

           Dadanya gemuruh. Telinganya berdengung karena pikirannya tegang. Sangat tegang.

           Setengah jam lalu Ibu Cuk, temannya yang petugas cleaning service di rumah sakit kota meneleponnya, memberitahukan tentang masuknya pasien gawat darurat  yang tertabrak mobil jelang petang.

           “Cirinya seperti yang kamu sebutkan dalam pesan WA-mu tadi sore. Orangnya sedang dalam penanganan intensif.” Demikian kata Ibu Cuk.

           Melintasi terang lampu-lampu koridor, mata Sawitri pun seperti hendak berkunang-kunang. Sadar bahwa tensinya pasti sudah naik, ia berhenti sejenak.  Dihelanya nafasnya. Ia tak boleh terjatuh sebab harus bisa menemui lelaki tua asing yang sedang berada di dalam ruang IGD.

           Pardi paham dengan kondisi isterinya. Lekas ia merapat, memegang lengan perempuan itu.

           “Tenang sedikit, Bu,” katanya. “Belum tentu juga lelaki itu adalah bapakmu. Jangan sampai justeru kamu yang dirawat di IGD karena terlalu tegang, berpikiran yang tidak-tidak tentang seseorang yang nantinya ternyata bukan bapakmu.”

           Sawitri tak peduli ucapan Pardi. Kini ia sudah sangat dekat dengan ruang IGD yang di depannya banyak pula orang berkerumun. Ada yang ia kenal ada yang tidak. Yang tidak entah dari mana asalnya.

           “Innalillahi wa innailahi roji’un,” seru seorang perempuan yang berdiri di ambang pintu.

           Sahut menyahutlah seruan sama dari semua orang yang ada.

           “Kasihan si kakek itu, meninggal sebelum sempat bertemu keluarganya.”

           Langkah Sawitri terhenti demi mendengar kata-kata barusan, yang diucapkan seorang lelaki yang berdiri menyandarkan punggung di tembok.

           Segera Pardi merangkul isterinya dari belakang. Ia tahu perempuan itu shock!

           Benar, muka Sawitri pucat, badannya gemetar. Keringat dingin membaluri kening dan pelipisnya.

           “Bapak. Bapak!” teriaknya tak lagi bisa mengendalikan diri. “Bapak! Bapak!”

           Orang-orang menatapinya, menatapi Pardi dengan sorot mata tak mengerti.

           “Bu, Bu, istigfar!” lerai Pardi seraya mengguncang-guncang sedikit pundak Sawitri, sampai hanya tinggal isakannya saja yang tersisa.

           “Kenapa isterinya, Pak Pardi?” tanya perempuan yang tadi berdiri di ambang pintu dan kini mendekat dengan wajah penasaran.

           “Siapa, dari mana lelaki tua yang kecelakaan itu, Bu?” Pardi justeru balik bertanya kepada perempuan yang ia ingat pernah membeli soto di warungnya itu. Dada Pardi gemuruh pula, dengan ketegangan yang ia yakini seperti ketegangan Sawitri, kendati tidak terlalu keras.

           “Beliau kerabat teman saya, namanya Rusdi.”

           Isakan Sawitri terhenti mendengar jawaban tersebut. Pandangannya lekat ke arah sang perempuan. Ada yang hendak ia ucapkan tapi Pardi berbisik, “nah, bukan Bapak, kan? Ayo pulang!”

           Pardi tak berminat untuk tahu lebih banyak. Yang penting sudah jelas bahwa itu bukan mertuanya. Yang penting segera meninggalkan tempat itu.

           Semua mata menumbuk punggung pasutri yang pergi itu. Mata yang diisi sorot tak mengerti, heran dan penasaran.

****

“Waktu itu kita membicarakan Bapak, kesal pada Bapak. Saya memutuskan tidak lagi ingat-ingat Bapak. Mungkin kemudian Tuhan tidak ingin hubungan saya dengan Bapak akan selamanya retak. Tuhan lalu mendatangkan Subhan yang menceritakan tentang kehadiran lelaki tua itu, yang mencari stasiun.

Dengannya Tuhan mungkin menyuruh saya tetap ingat dan juga mencemaskan Bapak. Dengannya pula saya merasa tiba-tiba disadarkan oleh Tuhan. Disadarkan bahwa sesungguhnya saya adalah stasiun. Stasiun yang mungkin saja sedang diimpikan Bapak, akan dicari keberadaannya, untuk didatangi suatu saat oleh beliau.”

Pardi tak jadi meneguk kopinya. Gelasnya berhenti di depan mulut. Pandang tak mengertinya meminta penjelasan pada isterinya, atas kalimat perempuan itu barusan, terutama baris terakhir.

“Ya, ketika kita sudah dewasa dan orang tua kita sudah sepuh, kita segera menjadi stasiun bagi mereka. Tempat mereka datang menyandarkan lelah perjalanan, untuk bisa singgah sejenak, istirahat menikmati kenyamanan-kenyamanan tersisa, sebelum kemudian melakoni perjalanan akhir mereka. Iya kan, Mas?”

Pardi harus meneguk kopinya untuk menutupi canggungnya sendiri yang tak mampu memberikan tanggapan berarti atas cetusan pikiran Sawitri, yang menurutnya mendadak filosofis. Sang suami merasa dirinya megap-megap di kedalamannya.

“Ini sudah tengah malam, ponsel Bapak sudah mati. Besok akan saya hubungi lagi. Jika tidak diangkat, akan saya kirimi surat, untuk saya jelaskan pada beliau bahwa stasiunnya tetap ada, selalu menunggu beliau datang, siap menjadi tempat istirahat beliau. Kalaupun tak juga didatangi, setidaknya di kejauhan beliau akan mau berangan-angan tentang kursi-kursi panjang yang tertata di stasiunnya, tentang nikmat mengaso sebelum bus datang lagi. Saya akan bahagia sekali, Mas.”

Pardi hendak membuat kopi lagi. Nikmat rasanya meneguk kopi sambil melihat mata Sawitri berbinar-binar ketika mengucapkan kata-kata itu.

“Pasti tekanan darahnya sudah turun,” bisik hati lelaki itu, lega.

Selesai

Sumbawa Timur, 20 Juni 2022

Bionarasi penulis:

Yin Ude, penulis Sumbawa Nusa Tenggara Barat, karyanya berupa puisi, cerpen dan artikel dipublikasikan di berbagai media cetak dan online di dalam dan luar Sumbawa, seperti Lombok Pos, Gaung NTB, Suara Muhammadiyah, Sastra Media, Elipsis, Bali Politika, Uma Kalada News, Negeri Kertas, Suara Krajan, jurdik.id. dan Indonesiana. Memenangkan beberapa lomba penulisan seperti Juara 2 Lomba Cipta Puisi Bulan Bahasa Himapbi Universitas Asy’ariah Mandar, Sulbar (2021), Anugerah Puisi Terbaik Peringatan Konferensi Asia Afrika Tahun 2022 Negeri Kertas, dan Anugerah Cerpen Terbaik Hari Nelayan Nasional Tahun 2022 Negeri Kertas. Puisinya termasuk dalam 30 Karya Kandidat Pemenang Sayembara Puisi Teroka-Indonesiana Tahun 2022. Telah menerbitkan buku tunggal Kumpulan Puisi dan Cerita “Sajak Merah Putih” (2021) dan Novel “Benteng” (2021). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama penyair Indonesia. Terbaru adalah Antologi Puisi “Minyak Goreng Memanggil” (2022).

Facebook: Yin Ude

Kontak: 087810071573 (WA)

Email: abidanayi@gmail.com

Exit mobile version