Fanny Jonathans Poyk, penulis yang energik dan produktif itu minta pemerintah terjun ke lapangan. Lihat langsung aktivitas dan kegiatan berbagai komunitas sastra penyair dan sastrawan atau group-group kesenian lainnya. Seperti teater dan sebagainya baik di Kota Jakarta dan sekitarnya maupun sejumlah daerah.
“Itu kan ada dana abadi kebudayaan. Cari mereka yang potensial berkarya, lalu biayai karya dan kehidupan mereka sehari-hari. Lihat saja nasib kehidupan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calsoum Bachri dalam usia 83 tahun tiap bulan masih harus memikirkan bayar listrik, telepon, air, dan sebagainya,” katanya.
Kecuali mungkin kalau penulis itu pensiunan ASN, dapat uang pensiun, berkarya bebas dan tak pusing lagi bicara soal tunjangan dana sehari-hari.
“Saya ini, misalnya, cuma bisa bergerak pada kata-kata, bergerak di dunia kata-kata, dan mencari peluang rezeki daru kata-kata, bahkan sampai jatuh sakit,” ceritanya.
Menurutnya, sampai saat ini para penyair dari kelas bawah tanah atau akar rumput (grass roots) masih berjuang sendiri.
“Misalnya, menulis karya sendiri seperti puisi, lalu menerbitkan jadi sebuah buku antologi dengan biaya sendiri. Bahkan menjual sendiri buku antologi tersebut, dan yang beli interen kita sendiri, diantara kita-kita saja,” kilahnya.