CERPEN: Kok Dapek Nan di Hati (Oleh: Ali Usman)

SALAM REDAKSI – Harianhaluan.id merupakan media online, satu group dengan koran Harian Umum Haluan. Melalui rubrik SASTRA BUDAYA, Redaksi Harianhaluan.id menerima tulisan sastra (puisi, cerpen, resensi buku dan film, cergam, cerbung, komik dan karya sastra lainnya). Silahkan kirim karya Anda dilengkapi profil singkat melalui WhatsApp: 0812 7790 1410 atau email: redaksihaluan.id@gmail.com ***

KOK DAPEK NAN DI HATI
Oleh: Ali Usman

Hembusan angin seraya menyapu pepohonan yang rindang di depan rumahku. Hujan tiba-tiba mengejar dengan cepat. Gemuruh petir sesekali meningkahi irama angin dan hujan. Damai terasa hati ini mengiringi irama hujan karunia Allah yang harus disyukuri. Namun, kecamuk pikirankanku mengalahkan semuanya.

"Da… kok buruak bana manuangnyo? Apo nan tajadi?” Hadi menghampiriku, membuyarkan lamunanku mengikuti irama air hujan. Ia ingin menghiburku. Sepertinya ia tahu aku punya masalah.

Hadi adikku yang paling bungsu dari delapan bersaudara. Ia baru kelas tiga SMP. Ia baru libur setelah habis Ujian Nasional (UN), sedangkan kakakku yang sulung sampai yang ke enam merantau. Dua orang di Jakarta, satu orang di Malaysia, dan tiga orang di Bandung.

"Ndak ado apo-apo doh. O… iyo, bilo pangumuman UN SMP Di?” Cegahku mengalihkan topik pembicaraan agar Hadi tidak tahu dengan masalahku.

"Kata Pak Ya’kub tanggal 16 Juni besok, Da. Sebenarnya Hadi tidak sabar lagi menunggu kelulusan itu. Kira-kira Hadi bisa lulus nggak Da?” Tidak ada jawaban. Hanya irama titik air hujan di atap rumah yang sesekali di timpali tiupan angin dan gemuruh petir.

“Da! Da! Gimana pendapat Uda? Aku bisa lulus kan?” Pertanyaan Hadi terus menyerangku. Ternyata aku berhasil mengalikan pembicaraan.

"O… tentu lulus dong Di. Insya Allah. Hadi kan Adik Uda yang paling brilliant di rumah ini. Tul nggak?” Balasku seraya memeluk pundaknya yang tidak jauh lebar dari pundakku. Hadi hanya tersenyum dan menyiratkan wajah keoptimisan. 

"Aamiin! Thank’s, Da. Aku ke belakang dulu. Kebelet pipis nih” Bisiknya sambil melemparkan seutas senyuman seraya berlari ke belakang.

Suasana kembali haru. Seharu hatiku. Seharu cuaca hari ini dengan hujannya yang lebat dan terpaan angin yang saling berbalasan. Seperti inilah pengalaman hatiku yang paling haru dan menyedihkan. 

Perjalanan hidup benar-benar memberikan pelajaran atas makna hidup. Makna pendidikan yang baik. Kira-kira itu merupakan hikmah yang harus aku petik. Informasi kelulusan Penerimaan Mahasiswa Undangan Khusus (PMDK) ke Universitas Indonesia (UI) belum berjodoh denganku. Allah mungkin berkehendak lain atas garis nasibku. Garis takdir yang tidak akan pernah diketahui oleh manusia. 

“Bu, Hendra merasa malu. Sepengetahuan Hendra, belum ada di keluarga kita ini yang mengecewakan Ibu. Hendra… Hendra…” Tiba-tiba suaraku tertahan. Semua mata tertuju padaku.

"Apa maksudmu Dra? Ibu belum paham.” Potong ibu seraya menghentikan suapannya.
“Aku belum berhasil, Bu. Aku tidak lulus PMDK di UI” Jelasku seraya menundukkan kepala.
“Kenapa, Dra? Dimana salahnya? Selama ini kan kamu sudah ikuti semua prosesnya. Nilai dan prestasi di sekolah oke. Selalu lima besar. Dimana letak kesalahnnya?” Pertanyaan ibu bertubi-tubi menyerangku.

“Iya, Dra. Kenapa bisa tidak lulus? Ayah selalu melihat kamu berikhtiar dan berdo’a sungguh-sungguh. Jarang absen dari tilawah dan qiyamullai. Betulkan? Kenapa seperti ini?” Ayah juga menyerbuku dengan pertanyaan yan tidak bisa ku jawab.

“Apa aku tidak salah dengar, Da? Uda tidak lulus. Uda kan hebat! Ya kan Yah! Bu!” Susul Hadi dengan irama tak percaya dan turut meyakinkan ayah ibu.
Semua mata tertuju padaku. Sesekali kulirik ketiga pasang mata itu bergiliran, membuat aku makin tidak bisa berargumen. 

Wajah-wajah yang terpaku menunggu jawabanku tak kuat aku tatap. Makan siang pun diwarnai dengan ketegangan dan diskusi yang terputus gara-gara sikapku. Semua suapan tertahan pada piring masing-masing menunggu penjelasanku. Hening.

“Bu! Yah! Hendra ti… ti… dak… Tidak bisa menjelaskan semua pertanyaan tadi” Jawabku dengan susah payah.

“Di… Uda juga tidak menyangka seperti ini. Makanya kemarin itu termenung. Uda belum dapatkan informasi yang lengkap dari Pak Husen wakil kesiswaan SMA 1 Padang sekolah Uda” Jelasku menatap mata Hadi yag terus menanti jawabanku.

"Yah! Bu! Insya Allah besok, Hendra temui Pak Husen dulu di sekolah menanyakan informasi kelulusan itu valid atau tidak. Kemudian bisa juga dijelaskan pada orang tua masing-masing oleh semua siswa yang ikut.”

“Kita tunggu besok ya…?” Serentak Ayah dan Ibu menjawab. 
“Da… carito an ka awak bisuak yo?” Sambung Hadi dengan senyuman. Hanya senyuman yang bisa aku berikan. Semua keluargaku meninggalkan meja makan untuk beraktivitas yang lain.

Hening di meja makan membuatku terpaku. Makanan dipiringku tidak jadi dilanjutkan karena hati dan pikiran sedang berkecamuk. Terngiang kembali pertanyaan-pertanyaan keluarga. Mereka tidak percaya dengan informasi yang aku berikan. Mudah-mudahan ketidakpercayaan mereka bertanda baik bagiku. Atau memang ada sesuatu yang salah atas pengumuman itu. Risau menyerbu hati. Galau mengacaukan pikiran. 

“Pengumuman kepada seluruh siswa kelas XII yang ikut seleksi PMDK ke UI berkumpul di ruang wakil kesiswaan” Guru piket mengumumkan sesuatu usai shalat zuhur. Bergegas aku melangkah, menuju ruangan wakil kesiswaan. Aku jadi tidak sabar menunggu informasi kelulusan itu dengan lengkap dari Pak Husen.

Satu persatu teman-temanku datang ke ruang Pak Husen. Aku duluan yang datang disusul Azis, Yanto, Lindung, Suci dan Riri. Mereka sambil bercanda memasuki ruangan. Mereka sepertinya optimis lulus.

“Gimana Dra, Zis, Yanto, Suci, Lindung, dan Riri, kira-kira lulus nggak?” Tiba-tiba Pak Husen muncul dengan pertanyaan seperti itu seraya tersenyum. Mungkin ia ingin menebak ekspresi kami.

“Insya Allah, Pak. Kami lulus” Jawab Suci dan Riri serempak seraya saling tersenyum. Dengan yakinnya menimpali candaan Pak Husen.

“Kamu Dra, Zis? Dan Kamu Ndung? Gimana lulus nggak rasanya?” Pertanyaan itu membuat kami terdiam. Beda dengan Suci dan Riri yang begitu pede menimpali. Tidak ada jawaban, cuma seutas senyum yang kami berikan. Mungkin Azis dan Yanto sama perasaannya denganku. Belum punya keyakinan bisa lulus. Kekhawatiran menggelayuti langit-langin ruangan itu.

“Oke-oke! Para calon mahasiswa yang Bapak banggakan.” Seraya tersenyum kepada kami.
“Alhamdulillah, sekolah kita sudah mendapatkan balasan dari pihak UI tentang keputusan kelulusan PMDK siswa SMA kita. Simak ya…” Pak Husen membuat suasana makin tegang. Penuh dengan penasaran. Aku makin deg-degan.

“Langsung ya ke intinya. Calon mahasiswa dari SMA 1 Padang. Abdul Azis lulus di Jurusan Teknik Informasi. Lindung Nasution lulus di Jurusan Sastra Jerman. Medya Anggun Suri lulus di Jurusan Akutansi. Ririn Wahyuni lulus di Jurusan Psikolog. Dan Syafwan Hendra…” Tiba-tiba suara Pak Husen putus di ujung. Hening. Beliau terpaku menatap kertas yang ada di tangannya. Apa maksud semua ini? Diam memenuhi ruangan itu.

“Gimana saya Pak? Saya lulus kan?” serta merta kakiku melangkah menuju Pak Husen.
“Lanjutkan Pak! Saya gimana? L-u-l-u-s kan? Ayo Pak, jangan buat saya cemas.” Menyodorkan wajahku kehadapan Pak Husen menanti jawaban yang menggembirakan.

“Ada apa Pak! Gimana dengan Hendra? Kok Pak diam?” serempak teman-temanku menimpali. Berdiri menuju Pak Husen. Reflek Pak Husen menyembunyikan map yang berisi surat pengumuman itu. Dan menahan kami dengan tangannya.

“Tenang-tenang! Tunggu sebantar, ya! Bapak diskusikan dulu dengan kepala sekolah” Pak Husen serta merta beranjak pergi menuju ruang kepala sekolah. Aku terduduk. Teman-teman menatapku dengan mata penasaran. Mereka kembali duduk dan terdiam. Hatiku galau dan kacau. Harap cemas terhadap keputusan itu. Ruangan kembali dipenuhi sunyi.

“Kenapa ya, Dra? Pak Husen terdiam ketika menyebut namamu?” Tanya Azis memecah kebekuan kami. 
“Aku tidak tahu” balasku lirih. Menelan ludah. Tertegun.
“Jangan-jangan, Pak Husen ingin ngasih surprise untuk kamu, Dra?” Tebak Suci sambil menunjukku.
“Mungkin iya, Dra. Kamu kan siswa terbaik di sekolah kita. Lagian kamu pilih jurusan yang tidak terlalu banyak peminatnya Jurusan Sastra Arab, kan? Katanya kamu mau ke Timur Tengah, kan? Tepatya Al-Azhar University. Aku optimis kamu pasti lulus Insya Allah” Timpal Riri menghiburku. Aku hanya mengangkat bahu. Terserah Allah mana yang terbaik untukku.

“Ting tong” jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Perutku sudah keroncongan. Pak Husen belum juga muncul juga. Teman-teman sudah tidak sabaran. Mereka kelihatan resah. Tapi anehnya semuanya bungkam seribu bahasa. Mungkin mereka memikirkan tentang diriku. Tiba-tiba, Pak Husen datang. Penasaran menyesak dadaku. Apa maksud semua ini? Pak Husen memperhatikan kami.

“Kok pada diam? Sudah nggak sabaran ya?” Terka Pak Husen seraya tersenyum kepada kami. Ia mematut surat pengumuman itu. Melemparkan tatapannya padaku. Kepalanya menunduk lagi ke arah kertas tersebut. Ia menaikkan alis matanya dan tersenyum kepada kami.

“Gimana Pak? Kok diam? Senyum bapak membuat kami makin…” Suara Riri mencairkan suasana yang beku.

"Apa pendapatmu, Ri?”
“Aku yakin, Pak, Hendra lulus karena ia temanku yang pintar. Jago Bahasa Inggris, bisa cas-cis-cus Bahasa Arab, Sains apalagi.”

"Apa argumenmu, Zis?” Pak Husen melemparkan pertanyaan kepada Azis.

"Insya Allah, Hendra lulus, Pak. I’m sure that. Ya kan, Dra?” Aku hanya tersenyum simpul membalas tatapan Azis dan teman-temanku. Tapi feelingku mengatakan aku tidak lulus. Semoga prasangka itu salah.

"Baik! Para calon mahasiswa UI yang bapak cintai!” Suara Pak Husen tinggi dan jelas sambil membacakan surat pengumuman itu.

"Hendra, sayang sekali… kamu… t-i-d-a-k…l-u-l-u-s” Ruang pecah oleh keterkejutan semua telinga yang mendengar. Mataku tersentak oleh bulir-bulir bening itu. Air liurku terteguk mendengar keputusan itu. Aku terdiam dan teman-temanku terpaku. Pak Husen juga terpana. Suasana kembali hening. Diam. Sesekali terdengar suara kendaraan di jalan raya.
“Tapi kamu diterima di Jurusan Sastra Indonesia. Pilihan kedua. Gimana, Dra?” Suasana agak sedikit cair dengan penjelasan ini.

“Bagus, Dra! Itu kan jurusannya Mbak Helvy Tiana Rosa. Ia dosen sekarang di UI lho… yang punya cerpen, Ketika Mas Gagah Pergi, yang terbit tahun 2000 kemarin” suara Suci mencairkan kebekuan. Diiringi anggukan teman-teman. Aku terpaku mendengar pernyataan itu. Mereka berusaha menimpali. Menghibur dan menenangkan hatiku. Namun risau menyerbu hatiku. Galau mengacaukan pikiranku.

Selaksa harapanku sirna. Aku tertegun mendengar perngumuman itu. Hampa terasa dunia. Aku tidak menyangka bisa seperti itu. Rasanya tidak mungkin. Aku sudah memaksimalkan ikhtiar. Lantunan do’a pun selalu mengiringi usaha itu. Hatiku berkecamuk tidak menentu. Galau merisaukan perasaanku. Kenapa?

"Hai… Dra! What the metter? Kok bengong aja?” Hamid membuyarkan lamunanku. Tepukannya pun mendarat di pundakku.

"Eh… kamu, Mid. Nothing friend’s, Cuma duduk-duduk saja sambil menunggu kamu” Kupaksakan suasana santai. Sunggingan senyumku mencoba menata hatiku. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Ah… yang bener. Kamu nggak usah bohong, deh. Tu wajah tidak bisa berbohong. Ibarat cermin yang selalu jujur bila kita berada di depannya. Tul nggak? Ngomong dong…! Ayo…! Katanya kita friend’s!” tebakan Hamid menerka apa yang aku pikirkan.
Aku melangkah pergi meninggalkan Hamid.

Daripada malu lebih baik aku meninggalkannya. Aku merasa tidak enak, kalau masalahku diketahuinya. Khawatir bisa menjadi beban pikiran baginya. Hati ini terus bersuara, nanti dulu ceritanya karena bisa menyebabkan ia sedih punya teman sepertiku. Bukan kah seorang muslim yang baik itu adalah yang paling bermanfaat kepada muslim yang lainnya?

"Dra...! Dra…! Tunggu dulu. Kok kamu seperti itu? Apa kita nggak temanan lagi?” Teriakan Hamid kembali menjagakanku dari kecamuk pikiran ini. Galau memporak-porandakan harapanku. Hamid terus menuyusulku. Ia berjalan di sampingku dengan terus mematut-matut wajahku. Mungkin kalau aku cermin, tampaklah kerutan tujuh belas yang membuat wajah Hamid berkerut juga. 

Perjalanan sepulang sekolah terasa hampa. Galau. Beban pikiran, harapan, dan kekecewaan bercampur aduk. Angin lembut siang itu menghembus asa di dada. Seolah-olah menyapu harapanku. 

Menerbangkannya jauh dari cita-cita. Apakah ini yan terbaik untukku? Atau ini pertanda kegagalanku menyenangkan hati Ayah dan Ibu? Seketika wajah Ayah dan Ibu hadir dalam imajinasiku. Wajah yang penuh harapan.

"Gimana, Nak? Benar yang kamu sampaikan kemarin? Ayah merasa tidak percaya. Ya kan Bu?” Seraya menganggukkan kepala ke arah Ibu.

"Betul, Dra. Ibu pikir, informasi itu belum benar. Ada sesuatu yang salah. Rasanya tidak mungkin seorang siswa yang cerdas tidak bisa lulus. Betulkan?”
Ibumu benar, Dra. Ayah sepakat. Keluarga kita, insya Allah keluarga berpendidikan. Selama ini, belum ada sejarahnya anggota keluarga kita yang tidak berhasil sesuai bakat dan cita-citanya.” Ayah meyakinkan argumennya.

"Ayo, Dra. Ayah dan Ibu yakin kamu anak yang cerdas. Rajin tilawah dan tahajud. Tak mungkin rasanya Allah tidak mengabulkan do’a-do’amu.”
“Iya, kan.”

"Tit… tit… tit…”  Klakson mobil bus kota sahut-menyahut menyapa para penumpang. Membuyarkan lamunan yang hadir dikepalaku. Harapan asa Ayah dan Ibu terus bergelayut dalam ingatan. Tanpa terasa aku telah sampai di Pasar Raya Kota Padang. Bus angkutan terus berpacu mencari penumpang. Mereka saling kebut berebut setoran. Angkutan kota (angkot) tak ketinggalan melaju cepat. Musik-musik keras menambah bising kota. Dalam pikiran para supir, musik diperkeras volumenya untuk menarik calon penumpang agar memilih angkot mereka. Tampaklah ABG menyetop mobil yang bermusik keras tersebut. ABG sekarang suka dengan begituan. Berebut mengejar angkot dan bus kota yang memanggil-manggil mereka.

“Dra! Dra…! Tunggu dong...! Cepat sekali langkahmu, seperti dikejar hantu aja. Hei! Wait me please!” Dengan nada kesal Hamid memanggilku. 

Langkahnya makin cepat. Menyusulku. Jarakku dengan Hamid sudah lima meter di depannya. Hamid menggurutu sekali dengan gelagatku kali ini.
Sebenarnya aku tidak ingin membuat Hamid kesal. Tapi, entah kenapa aku merasa orang paling sial hari ini. Kenapa nggak sial, teman-teman yang sama denganku ikut seleksi PMDK ke UI lulus semua di jurusan pilihan pertama mereka. Sedangkan aku tidak, kenapa? Kenapa? 

"Baaa…! Tiba-tiba pundakku ada yang memukul. Serta merta aku menoleh.

"Astaaaghfirullah…! Apa-apa nih, Mid. Bisa copot jantungku. Mau kamu tanggung jawab. Hah!” wajahku memerah menatap muka Hamid. Wajah itu memancarkan sumringah senyum ikhlas.

“Kamu, sih. Nggak dengar aku. Ninggalin aku begitu saja. Kamu tau, Nggak? Kamu nggak seperti biasanya. Tidak seperti Hendra yang ku kenal.” Hamid menghalangi langkahku. Ia berdiri di depanku. Aku terpaku.

“Terserah. Aku lagi nggak mood sekarang.” Aku kesal. Serta merta kudorong tubuhnya ke arah kananku hingga ia terperanjat. Aku melangkah cepat menuju masjid. Deru mobil menemani perseteruan singkat kami. Sesekali menoleh ke belakang, Nampak Hamid geleng-geleng kepala memperhatikan tingkahku. Wajahnya terlihat kecewa penuh tanda tanya.

Panas Kota Padang terasa membakar kulit. Angin panas ikut menimpali kulitku sehingga sengatannya begitu pedih. Deru angkot menyesalkan. 

Mengacaukan pikiranku yang sedang sial hari ini.
“Allahu akbar! Allahuakbar!” Alhamdulillah sudah azan. Waktu zuhur sudah masuk. Langkah makin ku percepat menuju masjid Taqwa Muhammadiyah.
“Mid, aku shalat dulu ya!” sorakku kepada Hamid sambil melambaikan tangan. Ia hanya mengangguk. Hamid langsung naik angkot menuju rumahnya di Komplek Singgalang. Sepertinya ia masih kesal dengan sifatku tadi. Aku terkadang heran juga, kenapa aku keterlaluan pada Hamid? Padahal ia berniat baik untuk menghiburku, kerena ia bisa membaca pikiranku. Ia bisa memaknai kerut di keningku. Angkot yang ditumpangi Hamid terus melaju meninggalkanku. Menyisakan rasa sesal di dadaku. Hamid. Sorry friend’s.

Di tempat wudhu’. Aku basuh muka dengan harapan bisa membasuh kesal di wajah ini. Kubasahi kepala agar pikiran yang lagi kusut ini dapat dirapikan kembali bersama sejuknya air wudhu’ ini.

“Ya, Allah…! Hilangkanlah kegalauan yang menggelayut di kepala ini. Hapuskan ya, Allah… gundah-gulana di dada ini. Gugurkanlah sesak di hati ini mengiringi jatuhnya air wudhu’ ini, Aamiin” usai berwudhu’, aku langsung menuju ruang masjid untuk shalat zuhur berjama’ah.

"Allahuakbar.” Imam sudah takbir. Aku juga takbir menghambakan diri menghadap sang Khalik. Menyerahkan segala keluh kesah yang menyesak dada. Memasrahkan diri demi tercapainya harapan yang tersemat di hati.

Empat rakaat shalat zuhur sudah berlalu. Ku sempurnakan dengan shalat sunat rawatib ba’da zuhur. Ku coba menata hati dan pikiran dengan mencurahkan semua kegalauan.

"Ya, Allah… mudahkanlah urusan hamba. Lapangakanlah jiwa hamba dalam menghadapi kekacauan pikiran ini. Jernihkanlah hati ini. Ya, Rahiiim! Berilah aku kekuatan untuk bisa menyenangakan hati Ayah dan Ibu. Ya, Rabb…! Apakah ini takdirku? Jurusan inikah yang terbaik bagiku ya, ‘Aliim? Tapi ya, Ghafar… ya, Rahiiim…”  bulir-bulir bening itu tak terbendung lagi. Menetes membasahi kedua pipiku. Aku larut dalam pecahnya tangis penuh harap ini. Harap Allah ijabah do’a ini. Amin.

"Tapi ya Rahman! A… a… a-k-u berharap bisa menimba ilmu di Jurusan Sastra Arab UI agar nantinya bisa menuntut ilmu-Mu ke Al-Azhar University Mesir, kota para nabi-Mu. Bermodalkan bahasa syurga-Mu. Seperti yang diriwayatkan oleh At-Tabrani: “Cintailah bahasa Arab karena tiga hal, yaitu bahwa saya orang arab, bahwa Al-Qur’an adalah bahasa Arab, dan bahasa syurga di dalam syurga adalah bahasa Arab.” 

"Kenapa ya, Rabb! Hati ini belum tenang menerimanya ya, Allah. Kalau ini yang terbaik bagiku menurut-Mu, tenangkanlah hati ini ya, Azis. Damaikanlah hatiku menerimanya. Karena semua urusanku dalam genggaman-Mu yang Maha menguasai semua urusan-urusan hamba-Mu. Aamiin Ya Rabbal’alamin.”

"Suaraku tersekat oleh isakan haruku yang tak terbendung. Aku terpaku diam di tengah-tengah lalu lalangnya jama’ah masjid usai shalat zuhur. Serta kesejukan memenuhi relung hatiku. Pikiran terasa fresh dan tenang. Seolah-olah cahaya ketenangan turus dari ‘Arasy sana. Alhamdulillah. Aku usap bening-bening yang membasahi pipiku. Aku segera ke luar masjid untuk pulang. Aku harus ceritakan semuanya kepada Ayah dan Ibu tentang hal ini. Ternyata kabar itu benar dan jelas, kerana langsung Pak Husen memperlihatkan data dan menjelaskannya padaku. 

Di rumah. Ayah, Ibu dan Hadi telah menunggu. Mereka penasaran dengan informasi kelulusanku. Di kepala mereka berkelebat ketidakpercayaan. Benarkah? Penasaran menggelayuti ruangan. Hening.

“Tok-tok-tok! Assalamu’alaikumm Yah! Bu!” 
“Wa’alaikumussalam!” suara dari dalam rumah menyahut. Agak beda bunyinya. Koornya ramai sekali. Siapa, ya?

Pintu terbuka. Tangan Hadi menariknya. Serta merta mataku tertancap pada wajah Hamid. Wajah yang selalu dihiasi dengan senyum tipisnya. Aneh. Terasa aura yang begitu beda. Semua pandangan bermuara pada wajahku. Apa…?

"Hamid! Kamu? Maafkan aku! I’m sorry my friend’s. Aku menyesal atas sikapku tadi. Aku lupa diri. Hariku terasa sial tadi itu. Maafin aku, ya! Kamu pasti kesal, kan?” Serta merta aku jabat tangan Hamid. Mungkin aneh baginya, semua mata menatapku. Aku langsung jabat tangan Ayah dan Ibu bergantian menciumnya.

"Ado apo, Da? Kok tangan Da Hamid Uda cium? Seharusnya kan tangan Ayah Ibu dulu” Hadi pun ikut heran.
“Ndak ado apo-apo, Di.” Balas Hamid.
“O, iya, Dra. Ajak Hamid duduk.” Ungkap Ayah tiba-tiba mencairkan keheranan.

“Yuk, Mid. Mari kita duduk di sana.!” Ajakku seraya menunjuk kursi-kursi di ruang tamu.  Ayah, Ibu, dan Hadi mengikutiku menuju ruang tamu.
“Silahkan Nak, Hamid. Ibu ke belakang dulu, ya.” Basa Ibu.
"Makasih, Bu.” Sambil mengangguk kepala seraya diiringi seutas senyum.
Suasana hening memenuhi ruang tamu. Mataku melirik sesekali kepada Hamid, Ayah dan Hadi. Tatapan mereka sepertinya menantikan sesuatu dariku. Aku jadi gelagapan. Bingung mau bicara apa? Mulut terasa kelu bersuara.
“Kenapa diam Di? Ayah? Hamid?” Aku beranikan diri memecah kebekuan. Ibu datang dengan membawa lima gelas es sirup melon. Semua pandangan beralih ke arah Ibu. 

“Diminum dulu sirupnya Nak Hamid!” Sapa ibu seraya meletakkan secangkir es sirup melon di depan Hamid kemudian kepadaku, Ayah dan Hadi. Ibu langsung duduk di samping Ayah. Hadi angkat bicara.

“Da ba a jadinyo? Di jurusan apo uda lulus?”
Aku terperanjat mendengarkan pertanyaan Hadi. Pertanyaan yang harus aku jawab dengan jelas. Ayah, Ibu, dan Hamid mematut mimik wajahku yang bingung. Harus mulai dari mana? Aku nggak mau mengecewakan Ayah, Ibu, dan Hadi juga.
“Kok bengong, Dra?” Sentak Ibu.

“Ceritakan informasi itu, Dra. Ibu dah nggak sabaran, nih. Kamu akan jadi mahasiswa, kan? Harus yakin dan percaya diri. Lihat Ayah tu, sudah siap untuk mendengarkan ceritamu.”
Aku menelan ludah. Adrenalinku segera menghadirkan keberanian untuk bicara. Bismillah. Allahu ma’i.

"Ibu, Ayah, Hadi, Hamid. Alhamdulillah aku lulus di Universita Indonesia Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia. Inilah informasi yang pasti, Bu” Wajah ibu mengguratkan mimik tidak percaya. Hening. Bagaiman dengan Ayah, Hadi dan Hamid?

* Seandainya Sesuai dengan Harapan
							

PROFIL PENULIS

PENULIS: Ali Usman, S.S., M.Pd., Lahir di Padang, 25 Februari 1982. Memiliki satu istri (Gusmardina, S.PdI.) dan empat orang putra dan putri. Putri pertama Alhimmatul ‘Aliyah Radhwa. Putra kedua Abdullah Hazim, Putri ketiga Huriyah Sakhia, Putra keempat Abdullah Hilman. Sehari-hari bertugas sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMP Perguruan Islam Ar Risalah (Islamic Boarding School) Kota Padang Sumatera Barat. Alamat email: aliusman.berbagi@gmail.com. Nomor HP/WA/Telegram: 081363046547. Boleh juga ikuti saya di Facebook: Ali Usman, Instagram: ali usman252, dan di Youtube: Ali Usman Berbagi. (*)

Exit mobile version