Sajak-sajak Muhammad Subhan

PROFIL – Muhammad Subhan. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan artikel di sejumlah media massa lokal dan nasional. Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017, puisinya terpilih tiga terbaik Banjarbaru Rainy Day Literary Festival 2019, tiga esai terbaik Festival Sastra Bengkulu 2019, tiga esai terbaik Festival Sastra Bengkulu 2019, Penerima Anugerah Literasi dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat 2017, dan Penerima Pin Emas sebagai Pegiat Literasi dari Wali Kota Padang Panjang 2018. Buku puisinya Kesaksian Sepasang Sandal (2020) dan buku cerpennya Bensin di Kepala Bapak (2021). Saat ini bermastautin di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat, mengelola Kelas Menulis Daring (KMD) elipsis dan mengembangkan majalah digital elipsis sebagai media alternatif yang mewadahi karya pegiat-pegiat literasi dan penulis-penulis muda Indonesia. Berikut sajak-sajak Karya Muhammad Subhan. (*)

Muhammad Subhan
Lakon

Kenapa yang diharap belum juga tiba, Kha?
Sementara yang tak terlintas di angan 
mendekat dan merapat menyeduhkan kopi 
di pagi yang menawarkan senyum mesra.

Seperti apa pertemuan itu jika mimpi semalam 
berubah skenarionya dan kau menjadi lakon 
yang dikerumuni laron-laron yang membutuhkan cahaya. 

Akankah kautepis uluran tangan dan kausingkirkan 
cangkir kopimu di atas meja kemudian berpaling muka? 

Kha, sekali-sekali jangan, jadilah mata air 
walau di sungai pipimu seringkali mengalir air mata.

2022






Mengunggun Sepi di Matamu

Kenapa sepi mengunggun di matamu, Kha? 
Bukankah kopimu kopiku di pagi yang mengkal 
ini telah bersulang untuk perjamuan siang dan petang?
Atau karena sepagi ini listrik telah pudur 
sementara bengkalai belum juga usai dan waktu 
yang kaupunya kian mundur?

Tak perlu risau, Kha. Nikmati saja 
setiap perjalanan, dan aku akan setia padamu, 
dalam tawa dan luka.
Oh ya, sebentar, Kha. Kucarikan roti tawar 
dan nanti kubakar sebelum kutaburi mentega 
dan cokelat keju yang kausuka itu.

2022


Disaat Harus Melepaskan

Bukankah kita tidak pernah merencanakan 
pertemuan ini, Kha? Kau datang tiba-tiba 
menyuguhkan kopi dan ketika kau memilih pergi 
haruskah aku merasa kehilangan? 

Aku telah tenggelam dalam syair bola matamu 
yang semusim waktu menggugurkan daun-daun.
Kau menjadi buluh perindu yang merekatkan 
ingatan dan harapan. Tak ada yang lebih bahagia 

dari melepaskan, dan pesanku, ingatlah segala 
yang baik, dan simpan di cangkang ingatan 
segala yang telah menjadi luka agar ia mutiara. 

Kha, kopimu akan menjadi rindu yang miang
di saat senja, di saat lelap mata di saat ada dan tiada.

2022




Titik

Kita masih menunggu, dengan debar, 
sebab waktu terlalu romantis, 
menjawab sepi, sementara senja, 
masih itu juga, dan kopi, telah ampas 
di ceruk tadah. 

Ada yang mengulang tanya, 
sudah bab ke berapa kisah itu 
tuntas ditulis? Kaujawab, hingga itu saja, 
titik telah lekat di sana.

2022










Banjir Kata

Di riak banjir kata
membawa air mata
—mata air penyair.

Mata air zikir luap dan lelap
simpuh di mihrab; pada-Nya. 
—penyair pulang mencari cinta.

Di mana banjir
di mana zikir
di mana kata.

Di mana-mana air;
air menjadi kata
kata menjadi mata
—mata hati kita.

2022

Exit mobile version