AGAM, HARIANHALUAN.ID — Di sebuah rumah papan berukuran 5×5 meter, sekitar empat kilometer dari gemerlap Kantor Bupati Agam, sepasang suami istri, Joni Derianto dan Nadia menjalani hari-hari mereka dalam kesederhanaan yang nyaris sunyi dari perhatian.
Sudah hampir lima tahun rumah itu menjadi tempat berteduh mereka. Rumah sederhana itu berdiri seadanya di tanah yang mereka rawat sendiri, dinding-dindingnya disatukan oleh paku karatan, sementara setiap sudutnya kini lebih banyak ditutupi oleh spanduk bekas kampanye para calon legislatif yang pernah berlalu.
Dinding papan yang mulai lapuk itu mereka perbaiki dengan apapun yang tersedia, seolah menahan waktu agar tidak segera meruntuhkan atap satu-satunya yang mereka miliki.
Mereka tinggal berdua. Tanpa anak-anak, tanpa keramaian, hanya suara angin dan desau daun yang menjadi teman setiap hari.
Sarana MCK layak pun tak ada. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka bergantung pada sumber air seadanya, mengalir jauh dari kebun tetangga.
Sang suami, seorang buruh tani, menggantungkan hidup pada panggilan-panggilan musiman dari warga sekitar. Kadang menyiangi rumput, kadang memetik hasil panen, kadang pula hanya menunggu sambil menatap sawah, berharap ada pekerjaan yang datang membawa sekepal rezeki.
“Kalau ada yang manggil, ya kerja. Kalau nggak ada, di rumah saja sama istri,” tutur Deri dengan mata yang menyimpan rindu akan hari-hari lebih baik.
Meski hidup dalam keterbatasan, tidak pernah sekali pun mereka meminta-minta. Mereka tetap menjaga harga diri dalam diam, tetap setia pada tanah dan rumah rapuh yang mereka sebut ‘surga kecil’.
Namun dalam hatinya, tersembunyi harapan yang begitu sederhana, agar ada uluran tangan, agar pemerintah melirik ke sudut sepi ini, memberi mereka rumah yang lebih layak, tempat berteduh yang tak hanya sekadar berdiri, tapi juga bisa melindungi.
“Kalau bisa, kami cuma ingin rumah yang kuat sedikit. Ada tempat mandi yang layak. Biar kalau hujan besar, nggak perlu takut bocor atau roboh,” kata sang istri pelan, sembari membetulkan kain lusuh yang membalut tubuhnya.
Empat kilometer bukanlah jarak yang jauh dari pusat kekuasaan. Namun bagi pasangan ini, jarak itu seolah menjelma jurang tak berujung.
Mereka tetap menunggu, dengan sabar, dengan keyakinan yang sederhana, bahwa mungkin suatu hari, di antara janji-janji yang terpampang di spanduk lusuh itu, akan ada satu yang benar-benar turun tangan.
Mereka tetap menanam harapan di tanah yang sama, di bawah atap papan yang sama, berharap mimpi sederhana mereka suatu hari akan bertumbuh menjadi nyata.
Menanggapi kondisi tersebut, Rukun Keluarga (RK) setempat, Rudi Hermansyah, membenarkan bahwa rumah pasangan petani itu memang sangat memprihatinkan.
“Saya sudah melihat langsung kondisi rumah mereka. Benar adanya, rumah itu berdiri dari papan yang sudah lapuk, bahkan sebagian besar dindingnya hanya ditutup spanduk bekas. Untuk MCK, sangat tidak memadai,” ungkap Rudi saat dikonfirmasi, Selasa (29/4).
Dengan nada prihatin, Rudi mengatakan dirinya pun merasa sedih melihat kehidupan pasangan tersebut. Namun, ia mengakui, sebagai pejabat di lapisan paling bawah, kemampuannya untuk membantu sangat terbatas.
“Apa daya kami di tingkat bawah ini? Kami hanya bisa menyampaikan laporan dan berharap ada tindak lanjut dari pihak yang berwenang. Kami tentu berharap, ada perhatian serius untuk memperbaiki rumah mereka. Mereka sangat layak mendapatkan bantuan,” ujarnya.
Rudi menegaskan bahwa dirinya bersama perangkat desa lain akan terus mendorong agar perbaikan rumah tersebut masuk dalam prioritas program bantuan pemerintah. (*)