AGAM, HARIANHALUAN.ID – Sebanyak delapan Kepala Keluarga (KK) belum mendapatkan aliran listrik PLN secara permanen di Bukit Terapung Jorong Pagadih Mudiak Nagari Pagadih Kecamatan Palupuah Kabupaten Agam.
Saat ini listrik PLN yang terpasang satu meteran berdaya 1.300 dipakai untuk delapan unit rumah. Kondisi itu telah berlangsung sejak sepuluh tahun lalu.
“Sejak sepuluh tahun lalu, satu meteran listrik kami pakai secara beramai ramai untuk 8 unit rumah. Satu rumah hanya boleh memakai lampu dan TV. Jika ada yang memasak pakai listrik maka listrik mati,” kata Ahmad Thamrin (41) salah seorang warga kepada Haluan, Jumat (13/12).
Dijelaskannya, rumah yang 8 unit tersebut berada di ketinggian sehingga tidak ada jaringan listrik. Jarak antara rumah dengan tiang listrik sekitar 200 meter. Untuk mengaliri listrik ke masing masing rumah. Warga secara swadaya membeli kabel listrik sepanjang 200 meter sedangkan tonggaknya dari kayu.
“Jika aliran listrik resmi ke rumah maka dibutuhkan sebanyak lima buah tiang listrik. Kami ingin masing masing rumah memiliki meteran sendiri sendiri sehingga kami bebas memakai listrik sesuai kebutuhan,” ujarnya.
Pada malam hari pemakaian listrik sangat tinggi sehingga daya 1.300 tidak mampu menampung kelebihan daya. Akibatnya, listrik sering mati. Menurut pengakuan warga, token Rp100 ribu hanya mampu bertahan selama 5 hari. Warga secara bergiliran membeli token listrik.
Anas Rizul (55) menambahkan, ia bersama dengan warga lain mengaku telah membayar biaya pasangan listrik kepada Biro PLN yang datang ke Pagadih Mudiak tahun 2022 lalu. Namun, hingga saat ini jaringan listrik yang dijanjikan tidak pernah dipenuhi.
“Sebanyak 20 KK di Pagadih ini telah ditipu oleh Biro PLN yang datang ke sini. Biro tersebut datang bersama dengan Wali Nagari Pagadih. Rata rata kami membayar Rp1,3 juta,” kata Anas yang berprofesi sebagai petani.
Sebagai masyarakat kecil jelasnya, mereka percaya saja sama biro PLN dan Wali Nagari Pagadih. Bahkan, uang untuk membayar biaya masuk listrik dipinjam kepada tetangga. Begitu besar harapan warga untuk dapat aliran listrik sendiri.
“Permasalahan ini telah dilaporkan ke Polresta Bukittinggi dua tahun lalu. Namun, karena kami tidak mengerti hukum kami tidak tahu tindak lanjutnya,” ungkapnya.
Pantauan Haluan di lokasi, secara umum kondisi warga setempat adalah warga miskin. Bahkan, ada rumah yang sangat jauh dikatakan layak, rumah hanya terbuat dari kayu beralaskan tanah.
Pekerjaan mereka hanya bertani, di lahan yang tidak subur, hasil tani tidak sampai kepada panen berikutnya. Sehingga warga kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pendidikan sangat rendah, sekolah hanya untuk tingkat SD dan SMP. Jika melanjutkan sekolah ke SLTA harus ke Palupuah yang berjarak 17 Km dari kampung atau ke Bukittinggi berjarak 41 Km.(*)