BUKITTINGGI, HARIANHALUAN.ID – Ketimpangan kepemilikan tanah menjadi salah satu persoalan mendasar yang terus membayangi perekonomian negara-negara ASEAN.
Isu ini menjadi pokok bahasan dalam kuliah umum bertajuk Tanah, Ekonomi, dan Ketimpangan: Restrukturisasi Kepemilikan Inklusif di ASEAN yang disampaikan oleh Prof. Madya Dr. Azima Binti Abdul Manaf dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, Jumat (7/11/2025).
Dalam pemaparannya, Prof. Madya Dr. Azima menegaskan bahwa tanah tidak sekadar aset fisik, melainkan fondasi ekonomi dan simbol kekuasaan yang membentuk struktur sosial masyarakat.
“Tanah bukan sekadar aset, tetapi asas kepada sistem ekonomi dan corak ketimpangan dalam masyarakat,” ujarnya.
Ia menyoroti bagaimana praktik spekulasi dan konsentrasi kepemilikan tanah telah menggeser fungsi sosial tanah, sehingga kekayaan hanya menumpuk di tangan segelintir kelompok, bukan pada masyarakat yang menggantungkan hidup di atasnya.
Menggunakan pendekatan teori institusional, Azima menjelaskan bahwa hukum, kebijakan, dan struktur kekuasaan sering kali mempertahankan pola ketimpangan yang diwarisi sejak masa kolonial. Akibatnya, masyarakat kecil sulit mengakses kepemilikan tanah dan peluang ekonomi yang adil.
Menurutnya, beberapa negara di kawasan ASEAN mulai menggagas kebijakan restrukturisasi kepemilikan inklusif sebagai langkah membangun sistem ekonomi yang lebih berkeadilan. Pendekatan ini menekankan pentingnya memperluas hak kepemilikan bagi kelompok miskin luar bandar, perempuan, komunitas adat, serta pelaku usaha kecil.














