Sementara itu, pedagang lainnya, Silvi turut mengeluhkan menurunnya kunjungan ke Pasar Aur Kuning yang berimbas menurun pula omzet dagangan. “Dulu, paling tidak omzet dalam satu hari pakan bisa mencapai 25 sampai 30 juta. Tapi sekarang jarang melebihi 5 juta rupiah,” kata Silvi pedagang pakaian fesyen wanita itu.
Akibat hal itu, ia terpaksa melakukan penyesuaian pada biaya operasional dengan menutup beberapa toko cabang dan mengurangi karyawan.
“Menjelang Lebaran tahun lalu omzet sempat naik juga, meskipun tak sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tapi setelah Lebaran, penjualan sangat merosot. Untuk itu, saat ini kami fokus di toko utama dulu. Sekarang, kami juga hanya memakai dua karyawan saja. Di mana sebelumnya ada tujuh orang. Hal ini dilakukan agar kami tetap bisa berjualan,” katanya.
Ditanya penyebab menurunnya kunjungan dan daya beli di Pasar Aur Kuning ini, menurut Silvi ada beberapa faktor. Pertama, musibah Covid-19 yang menyebabkan perekonomian menjadi hancur. “Hingga kini, imbas Covid-19 itu masih berlangsung. Perekonomian belum pulih. Untuk mencukupi kebutuhan pokok saja saat ini masih susah,” katanya.
Kedua, tren jual beli secara online yang terus berkembang. Saat ini, orang-orang sudah terbiasa belanja secara online. Tinggal pilih barang di smartphone, kemudian tinggal menunggu barang sampai di depan pintu rumah. Bahkan, pembayaran pun bisa dilakukan ketika barang sampai.
“Dari segi cara berjualan, jual beli online sepenuhnya tidak bisa disalahkan. Hal ini bisa dikatakan sebagai seleksi alam, bagi yang tidak mengikutinya akan ketinggalan. Tapi, jual beli online yang memperjualbelikan barang impor dengan harga yang jauh lebih murah, inilah masalahnya. Kami mau saja ikut dan sudah mencoba berjualan secara online meskipun harus mengeluarkan biaya tambahan untuk operasionalnya. Namun, kami tidak bisa bersaing dengan barang impor yang harga jualnya jauh di bawah harga modal kami,” kata Silvi.














