Teks Foto : Bung Tanol salah seorang penggiat budaya dan lingkungan.ist
DHARMASRAYA, HARIANHALUAN.ID — Banjir yang berulang kali melanda Kabupaten Dharmasraya telah menjadi persoalan kompleks yang membutuhkan penanganan serius. Akar permasalahan ini tidak hanya terletak pada curah hujan tinggi, tetapi juga pada kerusakan ekologi yang semakin parah di daerah aliran sungai (DAS). Alih fungsi lahan, penebangan liar, dan pembangunan di bantaran sungai telah mengubah keseimbangan alam, memperparah dampak banjir.
“Bisa dipastikan, di setiap kecamatan, pola kerusakan ekologi ini terlihat jelas,” kata Bung Tanol seorang penggiat budaya dan lingkungan, Rabu (5/3/2025).
Di Kecamatan Sembilan Koto misalnya, berbagai aktivitas pertambangan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit di dataran tinggi, dan penebangan hutan diduga turut mengganggu stabilitas DAS.
Di Kecamatan Timpeh dan Padang Laweh lagi, alih fungsi lahan menjadi faktor dominan. Sementara di Koto Besar, khususnya Nagari Bonjol dan Abai Siat, kombinasi aktivitas penambangan dan perkebunan sawit telah memperparah dampak banjir.
Persoalan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai tanggung jawab perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di wilayah tersebut.
“Kuat dugaan, aktivitas mereka menjadi salah satu penyebab utama banjir,” ungkapnya.
Padahal, Tanggung Jawab Sosial Lingkungan Perusahaan (TJSLP) wajib dikeluarkan setiap tahunnya, dan jika tidak, setiap perusahaan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini termaktub dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.
“Dalam pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan sejalan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Artinya perusahaan atau pun bank menyampaikan kepada publik terkait berapa anggaran dana CSR nya per tahun atau pun bentuk program,” tutupnya.(*)