PADANG, HALUAN — Penguatan mitigasi bencana gunung berapi harus diiringi dengan edukasi yang matang pada masyarakat guna meminimalisir dampak dan jatuhnya korban. Terlebih, belum ada teknologi yang mampu memprediksi semburan larva. Di sisi lain, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencatat dua gunung di Sumatra Barat (Sumbar) dalam status waspada atau siaga II.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbar Rumainur mengatakan, Sumbar telah memiliki mitigasi bencana gunung berapi termasuk erupsi dalam dokumen rencana kontingensi yang berisikan terkait peningkatkan kesiapsiagaan serta penguatan komitmen bersama antarlembaga penanggulangan bencana.
“Rencana Kontingensi ini merupakan proses identifikasi dan penyusunan rencana ke depan yang didasarkan pada kemungkinan keadaan atau risiko besar yang akan terjadi. Kita di Sumbar sudah punya itu sejak lama,” kata Rumainur kepada Haluan Senin (6/12).
Ia menambahkan, kesiapan mitigasi bencana gunung berapi juga didukung dengan pelatihan dan sosialisasi terkait kesiapsiagaan. Salah satunya dengan membentuk kelompok masyarakat tangguh bencana yang akan menjadi penggerak di tengah masyarakat untuk waspada dan siaga.
“Edukasi dan pelatihan kepada masyarakat tentang apa itu bencana alam, bagaimana upaya penanggulangan bencana dan bagaimana meminimalisir jatuhnya korban jiwa dalam peristiwa bencana alam,” ujarnya lagi.
Program tersebut, sambung Rumainur diintensifkan kepada masyarkat yang berada di daerah rawan terdampak bila terjadi lutasan atau erupsi gunung berapi, seperti Gunung Marapi di Tanah Datar dan Agam atau Gunung Talang di Kabupaten Solok. Di titik rawan erupsi juga sudah diberikan rambu-rambu arah evakuasi.
Di sisi lain, Rumainur menambahkan, sistem koordinasi antara lembaga terkait juga dibentuk dalam kesiapsiagaan bencana gunung berapi. Khususnya dengan PVMBG terkait aktivitas gunung dan informasi early warning.
“Kita juga serahkan sosialiasi penanggulangan ini di kabupaten/kota oleh BPBD di masing-masing daerah. Dan hal ini akan terus dilakukan seiring adanya dokumen renkon,” katnya.
Menurut Rumainur, Sumbar sudah siaga dalam mitigasi bencana gunung berapi. Beradasarkan data PVMBG dua gunung di Sumbar dalam status level II atau waspada yaitu Gunung Marapi dan Gunung Kerinci yang berada di perbatasan dengan Jambi.
“Untuk status kita tidak berubah, masih waspada. Hanya saja seiring dengan momen nataru, maka pendakian ke gunung ini kita batasi bahkan bisa saja dilarang,” ujarnya lagi.
Ahli vulkanologi Surono menyebutkan hingga saat ini belum ada sistem peringatan dini tercanggih yang dapat memprediksi erupsi gunung terjadi. Bahkan tidak ada perhitungan secara pasti, kapan saat seseorang bisa menyelamatkan diri dari terjangan awan panas yang bergerak sangat cepat, yang diperkirakan mencapai 600 derajat Celsius itu.
Sehingga kata Surono, mitigasi bencana menjadi faktor penting saat ini untuk meminimalisir potensi dampak dan korban dari erupsi gunung berapi. “Jalan menyelamatkan diri satu-satunya adalah tidak berada di kawasan gunung, sekitar 5-7 kilometer dari kawasan kubah lava saat dikeluarkannya peringatan status waspada,” ujarnya dikutip dari antara.com
Ia menyebutkan, kemunculan awan panas guguran harus menjadi peringatan alam bagi warga untuk segera menjauhi kawasan gunung khususnya aliran sungai dan menuju titik evakuasi yang telah disiapkan.
“Warga yang berada di sekitar aliran sungai harus berhati-hati bila awan panas guguran ini sudah mulai muncul, apalagi gunung yang memiliki kubah yang besar bisa menjadi longsor, guguran dan awan panas,” katanya.
Mantan Kepala PVMBG menjelaskan awan panas guguran berawal dari keluarnya lava, gas dan abu terus-menerus yang menumpuk dan volumenya makin besar sehingga membentuk kubah lava dan menjadi labil sehingga mengakibatkan isi dari kubah semakin ke luar dari kawahnya. Isi dari kubah lava tidak hanya batuan, namun ada juga berupa cairan sehingga saat kubah longsor dan pecah, ditambah pengaruh curah hujan, terjadi guguran atau longsoran yang terbentuk APG atau menjadi erupsi sekunder.
Menurut Surono, gugurnya material vulkanik gunung bisa diprediksi, seperti erupsi Gunung Semeru pada akhir pekan lalu. Namun hal yang tidak dapat dipastikan adalah kapan dan seberapa besar awan panas tersebut dihasilkan, terlebih dengan pengaruh curah hujan tinggi.
“Mitigasi bencana pada warga sekitar gunung seharusnya diperhatikan lebih serius oleh pemerintah daerah setempat. Sementara warga yang tinggal di area tersebut pun tak boleh menghiraukan peringatan waspada yang dikeluarkan terhadap aktivitas gunung tersebut,” katanya.
Korban Meninggal Bertambah
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kembali menemukan korban meninggal akibat erupsi Gunung Semeru, Jawa Timur di dua kecamatan, Pronojiwo dan Candipuro. Sehingga total korban jiwa saat ini sudah mencapai 22 orang.
“Jumlah korban meninggal yang dilaporkan oleh Pusdalops BNPB itu 22 orang. Di Kecamatan Pronojiwo 14 orang, di Kecamatan Candipuro delapan orang,” ujar Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari.
Ia menjelaskan, dari 14 orang yang meninggal dunia di Pronojiwo, sebanyak lima korban belum teridentifikasi. Kemudian, dua korban saat ini meninggal di RSUD Pasirian, dan tiga orang lainnya ditemukan di RT 16/RW 5 Curahkobokan jam 14.15 WIB. Kemudian berdasarkan laporan di lapangan, sampai saat ini masih ada 27 korban hilang.
BNPB mencatat total masyarakat terdampak baik di dua kecamatan yg terdampak langsung guguran awan panas maupun di delapan kecamatan yang terdampak debu vulkanik 5.205 orang. Sebanyak 2.004 diantaranya harus mengungsi di 19 titik pengungsian. (h/mg-dar)