“Ada enam butir (rekomendasi) yang sampai saat ini masih belum selesai. Salah satunya soal pengolahan limbah, filter udara, serta Fly ash dan bottom ash. Ini yang kami gugat ke KLHK untuk meningkatkan sanksi atau mencabut izinnya,” ucapnya.
Diki menjelaskan, sejak bertahun- tahun lalu LBH Padang telah menempuh berbagai langkah hukum agar masyarakat yang bermukim di sekitar PLTU Ombilin bisa kembali menghirup udara segar selayaknya warga negara Indonesia di daerah lain.
Sejak tahun 2019, LBH Padang bahkan telah berulang kali melayangkan gugatan terhadap PLTU Ombilin, baik itu lewat sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) maupun gugatan di PTUN, untuk mendorong KLHK segera menerbitkan sanksi atau mempercepat penjatuhan sanksi terhadap PLTU Ombilin.
“Dalam gugatan kami ada dua opsi tuntutan, yaitu sanksi administratif berupa penutupan sementara dan pencabutan izin lingkungan yang dapat berujung pada penutupan permanen,” ucapnya.
Berbagai langkah hukum yang diambil LBH Padang bersama sejumlah kelompok masyarakat sipil Sumbar itu ditempuh karena aktivitas operasi PLTU Ombilin telah menimbulkan pencemaran udara yang membahayakan kesehatan masyarakat sekitar.
Hasil riset kelompok masyarakat sipil yang diperkuat dengan dua kali pemeriksaan kesehatan terhadap siswa SD 19 Sijantang Koto, pada Desember 2016-Januari 2017, menunjukkan lebih dari 50 murid kelas III dan IV di sekolah yang berada tidak jauh dari PLTU Ombilin, terindikasi mengalami gangguan paru-paru.
Dari jumlah itu, sebanyak 34 orang atau 76 persen murid yang bermukim di sekitar PLTU Ombilin telah terindikasi mengalami obstruksi ringan, serta 16 orang atau 24 persen murid lainnya mengalami paru bronchitis kronis dan TB paru-paru.