Pelanggaran ini merupakan pengulangan dari pelanggaran-pelanggaran yang sebelumnya telah dikenakan sanksi oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari penumpukan abu sisa pembakaran yang masih menggunung di PLTU Ombilin dan bertebaran ke permukiman masyarakat Desa Sijantang Koto.
Pelanggaran seperti ini setidaknya masih terlihat hingga bulan November 2019, di samping pelanggaran berupa polusi abu dari truk pengangkut batubara, dan abu batubara saat proses keluar masuk PLTU Ombilin.
“Kondisi startup PLTU Ombilin yang menimbulkan bunyi bising sampai ke rumah warga terjadi sepanjang tahun 2024 sebanyak 3 kali, salah satunya pada 16 Mei 2024 sore,”
ucapnya.
Menyikapi hal ini, setidaknya ada dua hal yang harus diingat oleh KLHK dalam penegakan hukum, yaitu manusia dan lingkungan di
Sijantang Koto. Ketika pemerintah diam saat ada pencemaran dan tidak melakukan tindakan tegas, tentu manusia dan alam akan merasakan pencemaran.
“Semakin lama akan semakin memburuk. Negara seharusnya bertanggung jawab untuk bertindak tegas dalam hal pengelolaan lingkungan dan memaksa pengelolaan lingkungan melakukan pemulihan. Kalau pencemar tidak sanggup, libatkanlah pihak ketiga,” ucapnya.
Diki menegaskan, negara bertanggung jawab atas hak kesehatan manusia dan lingkungan hidup. “Tidak ada yang seharga dengan
sebuah kesehatan manusia dan ling-
kungan hidup yang nyaman dari
pencemaran,” ucapnya. (*)