PADANG, HARIANHALUAN.ID—Kelompok Masyarakat Sipil Sumatera Barat mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mempercepat realisasi wacana pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin yang terletak di Desa Sijantang Koto, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto.
Keberadaan PLTU tersebut selama bertahun-tahun dinilai telah banyak merugikan masyarakat sekitar. Penggunaan bahan bakar batu bara di PLTU yang telah berusia 29 tahun tersebut telah terbukti menimbulkan pencemaran udara dan kontaminasi limbah bahan beracun berbahaya (B3) yang berdampak buruk bagi kesehatan serta penghidupan masyarakat sekitar.
Pengelola PLTU tua ini juga telah berulang kali mengabaikan sejumlah rekomendasi maupun sanksi yang pernah dijatuhkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak bertahun-tahun yang lalu.
Sampai detik ini, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang masih terus berjuang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, menggugat KLHK untuk segera mencabut izin lingkungan yang dikantongi PLTU Ombilin.
“Saat ini gugatan peningkatan sanksi kami di PTUN Jakarta masih jalan. Insya Allah pada awal bulan Januari 2025 ini akan ada putusan,” ujar Koordinator Advokasi LBH Padang, Diki Rafiqi kepada Haluan, Rabu (1/ 1).
Diki menjelaskan, PLTU Ombilin se- belumnya telah dijatuhi sanksi atas pe- langgaran berat oleh KLHK sejak tahun 2017 silam. Sanksi itu dijatuhkan atas kontaminasi abu batubara bawah (bottom ash) di sejumlah areal, serta rusaknya cerobong emisi pembangkit yang mengeluarkan abu batubara atas (fly ash).
Dalam kenyataannya, sanksi maupun sejumlah rekomendasi perbaikan yang dijatuhkan KLHK tersebut tidak sepenuhnya dijalankan oleh PLTU Ombilin hingga kini.
“Ada enam butir (rekomendasi) yang sampai saat ini masih belum selesai. Salah satunya soal pengolahan limbah, filter udara, serta Fly ash dan bottom ash. Ini yang kami gugat ke KLHK untuk meningkatkan sanksi atau mencabut izinnya,” ucapnya.
Diki menjelaskan, sejak bertahun- tahun lalu LBH Padang telah menempuh berbagai langkah hukum agar masyarakat yang bermukim di sekitar PLTU Ombilin bisa kembali menghirup udara segar selayaknya warga negara Indonesia di daerah lain.
Sejak tahun 2019, LBH Padang bahkan telah berulang kali melayangkan gugatan terhadap PLTU Ombilin, baik itu lewat sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Pusat (KIP) maupun gugatan di PTUN, untuk mendorong KLHK segera menerbitkan sanksi atau mempercepat penjatuhan sanksi terhadap PLTU Ombilin.
“Dalam gugatan kami ada dua opsi tuntutan, yaitu sanksi administratif berupa penutupan sementara dan pencabutan izin lingkungan yang dapat berujung pada penutupan permanen,” ucapnya.
Berbagai langkah hukum yang diambil LBH Padang bersama sejumlah kelompok masyarakat sipil Sumbar itu ditempuh karena aktivitas operasi PLTU Ombilin telah menimbulkan pencemaran udara yang membahayakan kesehatan masyarakat sekitar.
Hasil riset kelompok masyarakat sipil yang diperkuat dengan dua kali pemeriksaan kesehatan terhadap siswa SD 19 Sijantang Koto, pada Desember 2016-Januari 2017, menunjukkan lebih dari 50 murid kelas III dan IV di sekolah yang berada tidak jauh dari PLTU Ombilin, terindikasi mengalami gangguan paru-paru.
Dari jumlah itu, sebanyak 34 orang atau 76 persen murid yang bermukim di sekitar PLTU Ombilin telah terindikasi mengalami obstruksi ringan, serta 16 orang atau 24 persen murid lainnya mengalami paru bronchitis kronis dan TB paru-paru.
Hasil pemeriksaan juga mene- mukan adanya hubungan penurunan fungsi paru dan kelainan pada foto toraks siswa yang bertempat tinggal berada dalam radius kurang dari 1 kilometer dari PLTU.
Kondisi kesehatan yang sama juga terjadi pada murid-murid yang keluar rumah tanpa memakai masker. Tidak hanya itu saja, pada Desember 2017, masyarakat di sekitar PLTU juga pernah melakukan pengecekan kesehatan terhadap 50 orang murid kelas IV dan V, dengan hasil 40 orang anak dalam kondisi fisik yang normal, sedang 10 orang anak lainnya mengalami kondisi fisik abnormal.
Analisis hasil foto toraks anak-anak SD tersebut terungkap bahwa 66 persen mereka sudah mengalami gangguan seperti bronchitis kronis dan TB paru.
Kegiatan pemeriksaan kesehatan yang ini dilakukan oleh dr. Ardianof, SpP dan dibantu oleh petugas kesehatan PLTU Ombilin bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Dampak buruk operasional PLTU Ombilin terhadap kesehatan warga juga diperkuat oleh laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Sawahlunto yang menyatakan bahwa di antara 10 penyakit yang paling banyak dilaporkan di setiap puskesmas di Kota Sawahlunto adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), terutama di Kecamatan Talawi.
“LBH Padang juga sudah me- masang alat pengkur tingkat cemaran udara beberapa waktu lalu. Hasilnya fluktuatif. Kadang-kadang normal, kadang-kadang berbahaya. Namun
pada dasarnya, masyarakat yang bermukim di sekitar PLTU sudah selayaknya menggunakan masker N95. Mereka tidak bisa lagi hanya
menggunakan masker medis, mengingat kondisi udara di sana yang sudah begitu buruk,” ucap Diki.
Berdasarkan pemantauan LBH Padang, pencemaran udara dari cerobong emisi PLTU Ombilin setidaknya terjadi pada bulan Februari
2019, 17-19 Juli 2023, November 2019, 6 November 2022, 4 Mei 2023, dan 4 Juli 2023.
Pelanggaran ini merupakan pengulangan dari pelanggaran-pelanggaran yang sebelumnya telah dikenakan sanksi oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari penumpukan abu sisa pembakaran yang masih menggunung di PLTU Ombilin dan bertebaran ke permukiman masyarakat Desa Sijantang Koto.
Pelanggaran seperti ini setidaknya masih terlihat hingga bulan November 2019, di samping pelanggaran berupa polusi abu dari truk pengangkut batubara, dan abu batubara saat proses keluar masuk PLTU Ombilin.
“Kondisi startup PLTU Ombilin yang menimbulkan bunyi bising sampai ke rumah warga terjadi sepanjang tahun 2024 sebanyak 3 kali, salah satunya pada 16 Mei 2024 sore,”
ucapnya.
Menyikapi hal ini, setidaknya ada dua hal yang harus diingat oleh KLHK dalam penegakan hukum, yaitu manusia dan lingkungan di
Sijantang Koto. Ketika pemerintah diam saat ada pencemaran dan tidak melakukan tindakan tegas, tentu manusia dan alam akan merasakan pencemaran.
“Semakin lama akan semakin memburuk. Negara seharusnya bertanggung jawab untuk bertindak tegas dalam hal pengelolaan lingkungan dan memaksa pengelolaan lingkungan melakukan pemulihan. Kalau pencemar tidak sanggup, libatkanlah pihak ketiga,” ucapnya.
Diki menegaskan, negara bertanggung jawab atas hak kesehatan manusia dan lingkungan hidup. “Tidak ada yang seharga dengan
sebuah kesehatan manusia dan ling-
kungan hidup yang nyaman dari
pencemaran,” ucapnya. (*)