“Oleh karena itu, sosialisasi dan gerakan pemilahan sampah dari level rumah tangga harus mulai dilakukan dari sekarang. Sebab jika tidak, sampah yang nantinya akan masuk ke TPST pun adalah sampah basah yang tercampur dengan plastik sehingga menyulitkan mesin dan membutuhkan banyak tenaga kerja untuk melakukan pemilahan sampah di TPST,” ujarnya.
Fuadi meyakini, kunci penyelesaian persoalan sampah Sumbar terletak pada upaya pengurangan dan pemilahan sampah sejak dari sumber. Hal itu, juga mendasari lahirnya Program Sumbar Bersih Sampah Terpadu (Bersatu) yang telah dicanangkan.
Melalui Program Sumbar Bersatu, DLH Sumbar mendorong setiap nagari atau kelurahan di Sumbar membangun satu unit Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, & Recycle (TPS3R).
“Kami juga mendorong perangkat nagari merumuskan regulasi peraturan nagari (perna) atau peraturan desa (perdes) pengelolaan sampah dan juga pembentukan Lembaga Pengolahan Sampah (LPS) di tingkat nagari/desa,” tuturnya.
Di sisi lain, ia mengakui hingga kini baru ada satu daerah di Sumbar yang telah memiliki TPST, yaitu Kota Bukittinggi, yang telah mendapatkan hibah pembangunan TPST sebesar Rp11 miliar dari Pemprov Sumbar pada tahun 2024 lalu.
Meskipun masih belum beroperasi karena masih ada beberapa komponen yang perlu diperbaiki, namun TPST berkapasitas 50 ton per hari itu ditargetkan akan segera beroperasi tahun ini.
“Dalam waktu dekat, Kota Padang sebagai daerah penghasil sampah terbesar di Sumbar juga akan membangun TPST berkapasitas 300 ton per hari melalui bantuan dan dukungan yang diperoleh dari Kementrian PU dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),” ucapnya.
Uniknya, TPST yang akan dibangun di Kota Padang nantinya juga akan memiliki kemampuan mengolah sampah plastik menjadi Refused Derived Fuel (RDF), pengganti bahan bakar batubara yang akan menyuplai PT Semen Padang.