Matinya Ratusan Ton Ikan Dinilai karena Pemda Setengah-Setengah Mengurus Maninjau

 

KERUSAKAN LINGKUNGAN — Ratusan ton ikan kembali mati di Danau Maninjau sejak pekan lalu. Padahal, Danau Maninjau telah tercatat sebagai salah satu danau prioritas untuk direvitalisasi di Indonesia. IST/PEMKAB

AGAM, HALUAN — Komitmen pemerintah daerah (Pemda) dalam menjaga ekosistem Danau Maninjau dipertanyakan setelah ratusan ton ikan mati sejak pekan lalu. Padahal, danau purba itu telah masuk dalam danau prioritas penyelamatan nasional. Aktivis menilai, aktivitas Keramba Jaring Apung (KJA) di Maninjau harus segera dihentikan.

Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar, Tommy Adam kepada Haluan mengatakan, masifnya aktivitas KJA untuk budidaya ikan di Maninjau sudah berlangsung sejak 1992, khususnya untuk ikan nila. Kemudian, pada tahun 2000 muncul fenomena tubo belerang yang mengakibatkan puluhan ton ikan mati.

“Secara aturan dan regulasi, Danau Maninjau dan Singkarak sudah ditetapkan sebagai danau prioritas yang harus dipulihkan kembali ekosistemnya. Artinya, dua danau itu sudah dalam keadaan kritis. Sehingga, kegiatan budidaya ikan mestinya dilarang,” ujar Tommy, Senin (13/12).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sambung Tommy, juga sudah menentukan zonasi Danau Maninjau, yang juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Daerah Zonasi Kawasan Danau Maninjau. Dalam aturan itu, diatur zona yang bisa dijadikan tempat budidaya ikan, dan yang dikhususkan sebagai tempat lindung yang tak mengizinkan kegiatan lain.

Namun, ujar Tommy, selama ini peraturan itu tidak berjalan optimal, sehingga upaya memulihkan danau yang belum tegas malah semakin diperparah oleh beban pencemaran. Bahkan, bila terus dibiarkan, keasrian Danau Maninjau akan hilang akibat kerusakan lingkungan.

Menurut Tommy, Pemda harus tegas menjaga ekosistem danau dari kerusakan, tentunya dengan membongkar dan melarang aktivitas KJA. Sebab, masih banyak KJA yang bermunculan setelah dibongkar oleh petugas. Bahkan, di titik-titik yang sulit dijangkau, KJA masih banyak ditemukan.

“Kami menilai selama ini Pemda Agam setengah-setengah, sehingga belum ada perubahan berarti terkait kondisi danau. Selain itu, yang bisa dipantau itu hanya bagian tepian danau di daerah Bayua atau di jalan menuju Bukittinggi. Sementara, di seberang di Tanjung Sani, sulit terpantau karena perlu akses ke sana,” katanya.

Hasil kajian Walhi, sambung Tommy, menemukan bahwa sebagian besar KJA di sekitar Maninjau bukan milik masyarakat sekitar, melainkan milik pemodal dan investor dari luar Sumbar. Sementara itu masyarakat hanya sebagai pekerja pada KJA-KJA tersebut.

“Data yang kami himpun, pemilik modal banyak orang Jakarta, bukan orang Sumbar. Maka Pemda punya kewajiban untuk mengalihkan mata pencaharian masyarakat yang selama ini bergantung ke budidaya ikan,” katanya.

Tommy menambahkan, banyak potensi alam yang bisa dikembangkan di kawasan Tanjung Raya. Namun, Pemda belum bergerak untuk melakukan identifikasi. Salah satu potensi yang bisa dikembangkan, katanya, adalah perkebunan buah pala.

Saat ini yang dibutuhkan, kata Tommy, Pemda harus memastikan KJA yang ada sesuai dengan yang diatur dalam Perda. Jika ditemukan KJA yang berada di luar zona, Pemda wajib melakukan pembongkaran.

“Perlu ketegasan, tapi ketegasan dalam menegakkan regulasi jangan sampai mengenyampingkan dampak yang akan diterima masyarakat, yang akan kehilangan mata pencaharian. Maka, perlu memastikan atau mencari alternatif ekonomi lain,” katanya.

Di samping itu, Tommy menyebutkan, dampak lain dari banyak KJA juga menyebabkan ikan endemik Danau Maninjau Rinuak masuk dalam kategori terancam, karena ikan yang dibudidayakan di Maninjau selama ini bukan ikan endemik. Sehingga, saat ikan-ikan tersebut masuk ke Danau, maka akan melakukan ekspansi dan membuat ikan rinuak mati.

Kemudian, Tommy menambahkan, Maninjau merupakan hulu dari Batang Antokan yang juga akan berdampak pada masyarakat di sekitar. Maka, saat berbicara mengenai Danau Maninjau, bukan hanya berbicara soal masyarakat Tanjung Raya, tetapi juga masyarakat di sekitar aliran sungai.

Klaim Faktor Cuara

Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan (DPKP) Agam, Rosva Deswira menyebutkan, kematian massal ikan ditemukan di Nagari Tanjung Sani, Koto Malintang, Koto Kaciak, Kecamatan Tanjung Raya. Diketahui, ikan yang mati merupakan milik puluhan petani keramba yang hampir masuk musim panen. Jumlah ikan mati diperkirakan mencapai 350 ton.

“Namun, kematian ikan terparah itu di Nagari Koto Kaciak, mencapai 300 ton. Kemudian, Koto Malintang sekira 2 ton, dan Tanjung Sani sekitar 50 ton,” kata Rosva Deswira, Senin (13/12).

Ia menambahkan, kematian massal ikan tersebut diawali cuaca ekstrem yang melanda kawasan Maninjau, yang menyebabkan penurunan suhu air danau akibat umbalan atau uppweling yaitu kondisi pembalikan massa air dari dasar ke atas. Hal ini membuat zat-zat atau racun-racun dari dasar danau naik kepermukaan, sehingga menyebabkan ikan kehilangan keseimbangan hingga mati mendadak.

“Karena upwelling atau pembalikan massa air dari dasar ke atas membuat zat-zat atau racun-racun dari dasar naik kepermukaan. Ikan tidak dapat bertahan dengan kondisi demikian itu, lalu mati,” katanya.

Pemerintah, sambung Rosva, sudah mengimbau para penambak untuk tidak membuang bangkai ikan ke badan danau. Melainkan dipungut dan dikubur agar tidak memicu bau busuk dan amis di sekitar danau.

Selain itu, Rosva menyebutkan, kondisi cuaca ekstrem diprediksi akan berlangsung hingga Februari-Maret 2022 mendatang, sehingga para penambak diminta untuk menahan diri menebar bibit baru. Sementara untuk ikan yang tersisa di keramba disarankan agar segera dipanen. (h/mg-rga/mg-per)

Exit mobile version