“Dinas Kebudayaan mesti menggerakkan seniman sebagai penggerak, bukan bermain sendiri saja. Setidaknya keberadaan Taman Budaya ini adalah etalasenya, dan Dinas Pariwisata tugasnya mengenalkan kesenian,” ujarnya.
Maestro Tari Indonesia itu mengklaim kalau berkesenian hanya angin-anginan saja. Termasuk pada Diskusi Budaya FPSSB yang dihadiri oleh para seniman, sastrawan, budayawan, akademisi, dan dari Dinas Kebudayaan yang diwakili Sekretaris Dinas Yayat Wahyudi. “Kehadiran pejabat pemerintah saja hanya mewakili. Seremeh itukah nasib kesenian kita ini?” tanya Ery kembali.
Paparan dari Ery Mefri juga dikuatkan Dr. Abdullah Khusairi. Menurutnya, kebudayaan hari ini hanya menitikberatkan pada hal yang konservasi saja daripada inovasi. Jadi kebudayaan hanya terkesan sibuk memasarkan, sedang di dalam tak ada apa-apanya.
“Kita sibuk memasarkan tanpa ada pengelolaan seni budaya yang jelas. Program dibuat asal jadi, asal buat, bukan karena capaian substansi yang dituju, tapi lebih ke capaian prosedur sesuai aturan yang lebih penting,” kata Abdullah Khusairi.
Anggapan itu kuatkan dengan kritikan AA Navis yang mengatakan aparatur pemerintah sering terbentur oleh pemahaman yang sempit tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan. Abdullah Khusairi pun sangat termakan dengan ujaran Navis itu.
“Kita tidak menyalahkan orang-orang yang tidak sesuai dengan bidangnya. Tapi yang kita masalahkan itu sistemnya. Sistem yang politis seenaknya memasukkan orang ke sana ke sini. Dan akhirnya ia berjalan tak sesuai kemampuan,” ujarnya.
Begitu pula simpul menyimpul Syarifuddin Arifin selaku moderator Diskusi Budaya. Ia mengintikan diskusi ini kalau lembaga kebudayaan salah urus. Jabatan hanya karena politis, bukan karier. “Kita diiming-imingi gedung pertunjukan termegah di Indonesia, tapi kini malah jadi yang terburuk. Semoga ada jalan kembali untuk nasib berkesenian kita ini,” katanya.