Nasib Berkesenian di Sumbar bak Mantimun Bungkuak

Teks foto: Diskusi Budaya oleh FPSSB yang dihadiri para seniman, budayawan, praktisi, hingga akademisi di ruang lepas Galeri Taman Budaya Disbud Sumbar, Kamis (20/3) kemarin. KIKI NOFRIJUM

PADANG, HARIANHALUAN.ID – Nasib berkesenian di Sumatera Barat (Sumbar) hari ini masih juga belum tuntas digodok para seniman, akademisi hingga pemegang kebijakan. Berkesenian bak mantimun bungkuak, masuk karung iya tapi tak dihitung.

Kira-kira begitulah musyawarah Forum Perjuangan Seniman Sumatera Barat (FPSSB) pada Diskusi Budaya: Fungsi Taman Budaya dan Peran Dinas Kebudayaan dalam Pengembangan Seni Budaya Sumatera Barat di Taman Budaya Dinas Kebudayaan Sumbar, Kamis (20/3) kemarin.

Diskusi yang sederhana. Duduk bersila di atas bentangan karpet di ruang lepas Galeri Taman Budaya, duduak samo randah, tagak samo tinggi. Seniman hilang gayanya, budayawan lepas deta-nya, akademisi lepas titelnya, pemerintah kebudayaan lepas baju dinasnya. Semuanya sama, hanya pemikiran yang dibawanya dalam diskusi budaya itu.

Peribahasa mantimun bungkuak benar-benar menggambarkan kesenian hari ini. Seni budaya hanya selalu terselip namanya di misi terakhir sebagian kepala daerah. Realisasinya pun juga tak maksimal dan serampangan saja. Hanya bila hari jadi kabupaten saja festival seni itu ada.

Dalam hal lain, seni budaya kini juga hanya bonus dari paket pariwisata saja, yang tentunya apabila ada kegiatan pariwisata, seni budaya itu baru muncul dengan malu-malunya. Begitulah kenyataan berkesenian yang mengudara dari omongan para seniman Sumbar hari ini.

“Banyak kantong-kantong berkesenian di beberapa instansi seperti dinas pariwisata, dinas kebudayaan, dinas pendidikan, BPK Wilayah III Sumbar, dan instansi lain. Tapi kenapa segala bentuk kesenian di tangan mereka mati suri atau lebih parahnya mati,” tanya Ery Mefri, selaku pimpinan Nan Jombang Dance Company.

Ery yang bertindak sebagai pemateri itu juga mengatakan, simbol dari istilah Tigo Tungku Sajarangan itu tidak ada lagi. Bila dipakaikan penandanya pada seniman, pegawai budaya, dan pegawai pariwisata, mereka seakan sibuk sendiri-sendiri. Jarang berkonsultasi dan berdiskusi. Tak ada yang Tigo Tungku Sajarangan itu.


“Dinas Kebudayaan mesti menggerakkan seniman sebagai penggerak, bukan bermain sendiri saja. Setidaknya keberadaan Taman Budaya ini adalah etalasenya, dan Dinas Pariwisata tugasnya mengenalkan kesenian,” ujarnya.

Maestro Tari Indonesia itu mengklaim kalau berkesenian hanya angin-anginan saja. Termasuk pada Diskusi Budaya FPSSB yang dihadiri oleh para seniman, sastrawan, budayawan, akademisi, dan dari Dinas Kebudayaan yang diwakili Sekretaris Dinas Yayat Wahyudi. “Kehadiran pejabat pemerintah saja hanya mewakili. Seremeh itukah nasib kesenian kita ini?” tanya Ery kembali.

Paparan dari Ery Mefri juga dikuatkan Dr. Abdullah Khusairi. Menurutnya, kebudayaan hari ini hanya menitikberatkan pada hal yang konservasi saja daripada inovasi. Jadi kebudayaan hanya terkesan sibuk memasarkan, sedang di dalam tak ada apa-apanya.

“Kita sibuk memasarkan tanpa ada pengelolaan seni budaya yang jelas. Program dibuat asal jadi, asal buat, bukan karena capaian substansi yang dituju, tapi lebih ke capaian prosedur sesuai aturan yang lebih penting,” kata Abdullah Khusairi. 

Anggapan itu kuatkan dengan kritikan AA Navis yang mengatakan aparatur pemerintah sering terbentur oleh pemahaman yang sempit tentang kebudayaan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan. Abdullah Khusairi pun sangat termakan dengan ujaran Navis itu.

“Kita tidak menyalahkan orang-orang yang tidak sesuai dengan bidangnya. Tapi yang kita masalahkan itu sistemnya. Sistem yang politis seenaknya memasukkan orang ke sana ke sini. Dan akhirnya ia berjalan tak sesuai kemampuan,” ujarnya.

Begitu pula simpul menyimpul Syarifuddin Arifin selaku moderator Diskusi Budaya. Ia mengintikan diskusi ini kalau lembaga kebudayaan salah urus. Jabatan hanya karena politis, bukan karier. “Kita diiming-imingi gedung pertunjukan termegah di Indonesia, tapi kini malah jadi yang terburuk. Semoga ada jalan kembali untuk nasib berkesenian kita ini,” katanya.

Basilang Kayu di Tungku Mangko ka Masak

Dalam diskusi budaya itu, tidak duduknya pokok persoalan berkesenian di Sumbar memang harus membutuhkan kejelasan untuk langkah ke depan. Seperti yang dikatakan akademisi budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Dr. Hasanuddin, M.Si. Ia juga sepakat kalau lembaga kebudayaan salah urus yang memang didasari karena tidak memahami berkesenian secara penuh.

“Dalam hal promosi kebudayaan ini memang sebagai salah satu jalan. Tentunya diharapkan adanya keterlibatan dari seniman atau budayawan yang memang tahu dan mampu di bidangnya. Karena seniman dan budayawan juga sarangnya untuk menggerakkan itu,” katanya.

Kalau dikaitkan dengan keterbatasan anggaran, Hasanuddin tidak yakin anggarannya akan dibilang terbatas, meski dihadapi efisiensi sekalipun. “Saya menilai justru kebudayaan itu anggarannya besar. Membuat satu perda saja itu biayanya satu miliar rupiah. Kalau dana sebesar itu, untuk satu eksekusi kegiatan kebudayaan saja sudah sangat besar itu,” katanya.

Sekretaris Dinas Kebudayaan Sumbar, Yayat Wahyudi mewakili pemangku kebijakan yang bertanggung jawab urusan kebudayaan ini mengatakan, setelah hasil diskusi ini memang diperlukan penajaman dari yang telah dimusyawarahkan.

“Kami kalau dari dinas sendiri telah memaksimalkan iventarisasi kebudayaan yang disesuaikan dengan bidangnya. Acuan kita jelas UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan,” katanya.

Namun dalam penyelenggaraan kegiatan seni budaya yang masif, Yayat Wahyudi mengakui memang tidak berkembang. Kegiatan hanya cenderung sifatnya pasar karena sebagian besar dananya hanya dari pokir anggota dewan. “Sehingga kita terbatas pula jadinya untuk itu,” katanya.

Dr. Abdullah Khusairi juga menyentil persoalan seni budaya seharusnya. Kebudayaan sesungguhnya adalah soft power dalam arus global. Jadi mantapkan pengelolaannya, sebab dinas memang harus mendorong Taman Budaya untuk bergerak. 

“Kita punya barangnya. Jadi jangan asal jual, pastikan barang kita terurus dan terkelola dengan baik. Kata senior kita saat diskusi, jangan sampai rueh jo kuku dak basobok,” katanya.

Akademisi dan praktisi seni dari Universitas Negeri Padang, Prof. Indrayuda, yang juga telah seiya sekata dengan kawan-kawan seniman di sebelahnya, kalau diperlukan cross check di antara instansi pemerintahan dengan seniman atau budayawan. 

“Dinas sebagai lembaga strategi, taman budaya sebagai lembaga teknis. Dan seniman otak atau barang yang memberikan gagasan besar bagi sebuah kegiatan kebudayaan. Yang penting, kita ingin kegiatan kebudayaan kita bukan atas dasar yang merugikan saja. Seniman di kampung kalau tidak ada kegiatan, mereka akan tetap basaluang juga. Nah kita di sini tentu menginginkan hal yang lebih representatif lagi demi nasib seni budaya di Sumbar yang jelas dan berkembang,” ujarnya. (*)

Exit mobile version