Sumbar Darurat Kekerasan Seksual, Rehabilitasi Korban Rudapaksa Tak Maksimal

TINGKATKAN PENGAWASAN – Sejumlah anak kecil bersepeda di salah satu kompleks perumahan di Kota Padang, Jumat (10/12). Diperlukan pengawasan ketat dari orang tua terhadap anak mengingat tingginya kasus kriminal yang membidik anak sebagai korban. FAJAR

PADANG, HALUAN — Sejumlah anak yang menjadi korban kejahatan atau kekerasan seksual di Kota Padang belum mendapatkan hak pemulihan atau rehabilitasi mental dan fisik secara komprehensif. Padahal, seperti halnya proses hukum bagi pelaku, pemulihan bagi korban juga harus disegerakan, terlebih satu per satu kasus serupa lainnya juga terus terkuak.

Dari sekian jumlah kasus kejahatan seksual pada anak yang ditangani Polresta Padang, terdapat dua kasus yang paling disorot. Pertama, rudapaksa alias pemerkosaan beramai-ramai terhadap kakak-beradik usia 5 dan 7 tahun di kawasan Mata Air oleh sejumlah anggota keluarga mereka sendiri. Selain itu, pencabulan oleh seorang lelaki berinisial MEM terhadap belasan anak di kawasan Bandar Buat juga menyentak publik.

Direktur LSM Nurani Perempuan-WCC, Rahmi Meri Yenti menyebutkan, langkah Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah yang menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 463/572/PHPA/DP3AP2KB-2021 terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, tak bakal cukup untuk mengatasi potensi kasus baru di kemudian hari.

“Terlebih soal kondisi psikis korban. Contoh, dua korban kejahatan seksual oleh keluarga di Kompleks Perumahan Cendana, Mata Air, psikis mereka mulai menunjukkan gejala yang tidak baik. Sehingga, rehabilitasi dan pemulihan oleh psikolog sangat mendesak untuk diberikan,” kata Meri kepada Haluan, Rabu (13/12).

Keluhan senada juga disampaikan salah seorang ibu dari anak lelaki yang menjadi korban pencabulan warga berinisial MEM di kawasan Bandar Buat. Sang ibu mengaku khawatir jika pendampingan dan rehabilitasi tidak diberikan dengan baik, maka kondisi psikis anaknya akan terganggu.

“Saya khawatirnya anak akan trauma, dan psikologisnya terganggu. Apalagi jika nanti diketahui banyak orang bahwa ia pernah menjadi korban,” ujarnya kepada Haluan saat ditemui di kediamannya, Selasa (14/12).

Tunggu Proses Hukum

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Padang, Edityawarman, mengaku proses rehabilitasi mental dan psikis bagi anak korban kejahatan seksual baru akan dilakukan secara komprehensif setelah proses hukum terhadap para pelaku tuntas.

“Proses rehabilitasi mental dan psikis secara menyeluruh akan dilakukan di Jawa, yang memiliki fasilitas dan tenaga ahli lebih lengkap. Untuk saat ini seperti untuk dua anak-korban yang di Mata Air, itu belum bisa dilakukan karena keterangan dan kehadiran keduanya di persidangan sangat penting,” ujarnya kepada Haluan, Kamis (16/12).

Edityawarman menyebutkan, pihaknya baru sebatas merelokasi anak-korban ke Rumah Aman, untuk mendapatkan proses assesment atau penilaian awal oleh tenaga ahli dari Dinas Sosial (Dinsos) secara langsung setelah kasus ini baru mencuat ke publik.

“Kami bertindak lebih kepada proses pendampingan, dan untuk sementara korban sudah kami amankan ke Rumah Aman, dan disana kami cukupkan kebutuhannya dan kami berikan perlindungan, karena untuk kedua korban di Mata Air ini, keluarga mereka memang sudah lepas tangan,” ujarnya lagi.

Ada pun proses rehabilitasi bagi terduga belasan bocah laki-laki yang menjadi korban pencabulan sesama jenis oleh warga berinisial MEM di kawasan Bandar Buat, Edityawarman mengaku pihaknya memang belum melakukan tindakan rehabilitasi lebih lanjut kepada korban yang diperkirakan berjumlah 14 orang. Sebab, para korban masih berada di bawah naungan orang tua masing-masing.

“Secara umum, kondisi korban yang kasus di Bandar Buat ini, itu masih kondusif bersama keluarga dan orang tuanya. Kita tetap akan memantau kondisi keluarga korban dulu, dan menjadwalkan pertemuan. Nanti kita lihat langkah apa yang patut diambil selanjutnya,” ucapnya.

Ketika ditanyai terkait lambannya proses penanganan dan penjangkauan terhadap anak-korban kekerasan seksual tersebut, Edityawarman menekankan bahwa pihaknya saat ini tengah fokus pada upaya pencegahan, edukasi, sosialisasi, dan pendeteksian dini kasus kekerasan seksual lainnya.

“Jika deteksi dini kita gencarkan, secara tidak langsung orang tua dan anak akan mendapatkan edukasi dan sosialisasi. Sementara itu rehabilitasi hanya kita lakukan saat kondisi korban sudah parah. Kalau masih kondusif bersama orang tua, kita aktif memantau,” ujarnya lagi.

Ia juga menekankan, bahwa untuk mencegah terjadinya kejadian serupa pada pihak lain, maka orang tua diimbau untuk meningkatkan pengawasan terhadap anak masing-masing.  Sebab, benteng pertama perlindungan anak adalah keluarga dan masyarakat. “Orang tua harus intensif mengawal. Pendidikan seputar fungsi tubuh juga wajib,” ucapnya lagi.

Kasus Baru Terkuak Lagi

Sementara itu, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur kembali terjadi di Kota Padang, kali ini menimpa seorang pelajar sekolah dasar (SD) berusia 12 tahun yang diduga telah menjadi korban kejahatan seksual secara berulang kali oleh seorang tetangganya yang telah berusia lanjut.

Kasat Reskrim Polresta Padang, Kompol Rico Fernanda mengatakan, pelaku berhasil diringkus di rumahnya di Kompleks Jondul IV, Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, sesaat setelah korban membuat laporan terkait keluhan rasa sakit pada bagian sensitifnya kepada orang tuanya.

“Pelaku berinisial M berumur 59. Ia berhasil diringkus setelah orang tua korban membuat laporan ke unit PPA Polresta Padang. Pelaku ditangkap tanpa perlawanan saat berada di rumahnya,” ujar Rico kepada Haluan, Rabu (15/12).

Dalam kasus ini, sebagai barang bukti aparat kepolisian telah berhasil mengamankan pakaian yang dikenakan korban saat pelaku melancarkan aksinya beserta hasil visum korban. Terkait kemungkinan korban lain, Rico mengaku pihaknya tengah melakukan proses penyelidikan lebih lanjut.

“Terduga terancam dijerat Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76 E UU RI No.17 Tahun 2016, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.01 Tahun 2016, tentang Perubahan Kedua Atas UU No.23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara, ” ujar Rico.

Terkait termuan kasus baru ini pula, Kepala Dinas P3AP2KB Kota Padang, Edityawarman, mengaku terkait proses rehabilitasi bagi korban yang berusia 12 tahun, memang belum diberikan tindakan apa pun.

“Tidak semua penanganan ada di kita. Kalau sudah berurusan dengan aparat penegak hukum, biasanya keluarganya dalam kondisi kondusif dan anaknya sudah diamankan,” ujarnya.

Pelaku Masih Diproses

Sementara itu terkait penanganan kasus, Kejaksaan Negeri (Kejari) Padang tengah menyiapkan dakwaan untuk DJ panggilan Udin (70), salah seorang pelaku yang melakukan rudapaksa terhadap dua cucu kandungnya yang masih di bawah umur di kawasan Mata Air, Kota Padang.

“Kami sudah menerima penyerahan tersangka dan barang bukti dari kepolisian. Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan menyusun dakwaan untuk perkara ini,” kata Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Padang, Budi Sastera.

Budi menyampaikan, berdasarkan berkas, sang kakek dijerat atas kasus rudapaksu dan cabul terhadap anak di bawah umur, sehingga melanggar ketentuan pada pasal 81 ayat (3) Juncto (Jo) 76 E Jo 82 ayat (2) tentang perlindungan anak. Selain DJ, pada hari yang sama polisi juga menyerahkan tersangka lain bernama Rian, yang berstatus paman korban.

Budi menargetkan, pihaknya akan melimpahkan perkara tersebut pada pekan depan, sehingga kasus itu bisa segera disidangkan. Pada bagian lain, untuk kakak sepupu korban berinisial ADA yang masih berusia 16 tahun, telah mulai menjalani persidangan tertutup bagi umum. (h/mg-fzi/win)

Exit mobile version