“Saya lakukan setiap pagi. Di pagi Jumat ibu saya membuat kue mangkuak. Saya yang menjajakan ke pasar untuk dititipkan. Di depan rumah saya juga ada batang limau manis. Kalau berbuah kami ambil dan kami jual pula,” katanya sembari melamunkan ingatan tersebut.
Memasuki sekolahnya di tingkat SMA, ibarat penggapaian mimpinya dari 10 triliun langkah, kini sudah berangsur menjadi 1 triliun langkah. Ia bersekolah di SMA 1 Sawahlunto, di mana Silantai dan Sawahlunto berjarak puluhan kilometer. Namun, bekal kemandirian yang telah didapatinya, lantas hal itu tak menggoyahkan semangat tangannya untuk mengayun dan kakinya untuk melangkah.
Hanya bermodal semangat dan betis kaki yang sudah berotot, si Ong dengan senang hati berjalan kaki puluhan kilometer menemui sekolahnya. Perantauan kecilnya dimulai dari sekolah SMA tersebut. Bila libur, ia berjalan kaki lagi ke kampung halaman.

“Libur itu kami tetap membantu orang tua. Bermain kami tampaknya sudah habis dengan berjalan kaki yang memakan waktu semalam itu. Saya dan kawan-kawan yang senasib ibaratnya penyuluh jalan kampung halaman kami ini. Saya tidak lupa Pak Ujang di Kumanis, yang selalu rela hati menumpangi lelah kami untuk beristirahat. Dari Silantai ke Kumanis saja kami berjalan kaki setengah hari, belum lagi ke Sawahlunto yang setengah hari pula perjalanannya. Pergi atau pulang kami selalu beristirahat di sini,” ujarnya.
Perjalanan sejauh itu, katanya, tentu sejauh itu pula pasti ada kebahagiaan, kelelahan, kepuasan dan bahkan kecemburuan – karena orang-orang yang berada bisa naik mobil yang lewatnya sekali-sekali. Sedangkan Novesar dan kawan-kawan senasibnya, hanya bisa berjalan kaki sembari tangan menjinjing sepatu agar tidak terkena tanah merah yang akan melumur-tebal telapak sepatunya.
Belum lagi beban di punggung yang membawa bekal (makananan, baju dan lain-lain) dari kebat sudut-sudut kain sarung yang menyerupai gembung bakul ditutupi kain. Katanya, begitulah makna pengorbanan yang jalannya pun meski harus tertatih-tatih.