“Di Sawahlunto itu saya juga bekerja pula. Saya dulu menurunkan kayu dari bus dan upahnya menjadi penghidupan saya di sini. Di lain harinya, saya juga menjajakan koran-koran ke jalanan. Paling enak kalau ada borongan bertukang pembangunan sekolah, bisa agak lebih jajan saya,” katanya mengurai senyum.
Tepat pada 1981, jurusan IPA di SMA 1 Sawahlunto disudahinya. Selepas itu sedang masa-masanya terbang jauh untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Begitu juga Novesar yang turut berpacu ingin melanjutkan pendidikannya di rantau. Tapi nasib berkata lain, mujur baik belum bersamanya. Novesar tidak diterima dan terpaksa mengangguri keinginannya untuk bersekolah di perguruan tinggi.
“Saya tak menguburnya. Saya ikut saudara saya ke Padang dan melihat ombak gilo di Topi Lauik saja. Tak ingin berlarut kesedihan, saya bersama kawan yang tidak lulus juga waktu itu, pergi merantau ke Bengkulu. Di sana saya jadi kernet bus jurusan Curup-Bengkulu. Alhamdulillah, selama satu tahun kurang saya kembali ke Padang karena akhirnya diterima kuliah di Jurusan Kimia Universitas Andalas,” katanya.

Namun sedikit kemelut terjadi. Novesar sempat dilarang orang tuanya karena kekhawatiran jurusan Kimia itu tamatnya lama, bisa sampai tujuh atau delapan tahun. Dengan semangat pendidikan yang masih bersarang di dirinya, Novesar meyakinkan orang tuanya kalau ketakutan itu bisa ditebasnya. Dan memanglah benar, dari 1982 masuknya sampai 1987, lima tahun menjadi pembuktian kepada orang tuanya.
Beberapa selang waktu, mujur baik pun dikandung badan, Novesar langsung mendapatkan tawaran beasiswa magister di Institut Teknologi Bandung (ITB). Tancap gas tanpa penolakan, ia mengambil dan menyelesaikannya dengan baik selama satu tahun delapan bulan.
“Sebelum tamat saya sudah dipanggil dekan untuk menjadi PNS di Unand, dan pada 1989 itulah ibaratnya kiprah saya dimulai. Tahun 1990 saya menikah. Dan 1996 saya S3 ke Malaysia. Di Malaysia itu saya mandiri dan tak dapat beasiswa. Hanya modal tekad saja, di pertengahan kuliah itu akhirnya saya baru bisa mendapatkan beasiswa dari pembimbing saya,” katanya.
Dan di masa itu pula, dari tabungan dan keuangannya, niek hati kasampaian, si Ong memberangkatkan bapak ibunya naik haji. Mimpi itu tak akan luput olehnya mengingat betapa besarnya dukungan orang tua terhadap pendidikannya.