Bahkan, sejak awal pemerintah pusat sangat berhati-hati. Pembahasan izin PT SPS berlangsung alot selama tiga tahun (2017–2019) karena status Pulau Sipora termasuk pulau kecil yang diatur ketat oleh UU Nomor 27 Tahun 2007.
“Dalam proses itu, KLHK bahkan berkonsultasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Jawaban KKP jelas, pemanfaatan hutan produksi di Sipora boleh dilakukan secara selektif dan berkelanjutan. Tidak ada kata larangan,” katanya.
Meski begitu, hingga kini PT SPS belum bisa beroperasi. Perusahaan masih harus melengkapi syarat teknis seperti koordinat geografis, AMDAL, hingga persetujuan emisi.
Proses pembahasan AMDAL bahkan kini ditugaskan kepada DLH Sumbar bersama Komisi AMDAL pusat.
Fuadi menepis anggapan bahwa PT SPS sudah beroperasi. Menurutnya, foto-foto log kayu dan ponton yang beredar di media sosial keliru dan menyesatkan opini publik.
“Kami sudah cek ke lapangan. Tidak ada aktivitas penebangan. PT SPS masih dalam tahap administrasi. Jadi tidak pas jika banjir Sipora 9–10 Juni lalu dikaitkan dengan perusahaan ini,” tegasnya.
Fuadi menegaskan kembali, izin HPH untuk PT SPS belum diterbitkan Menteri. Semua masih dalam proses, sementara kewenangan gubernur terbatas.
“Kalau nanti AMDAL sudah disetujui, baru akan keluar persetujuan Menteri. Jadi jelas, laporan ke Ombudsman itu salah sasaran,” pungkasnya. (*).