Deforestasi, Krisis Air, dan Ancaman Bencana
Koalisi menyoroti risiko ekologis yang mengintai. Banjir dan longsor pada 10 Juni 2025 lalu menjadi bukti rapuhnya ekosistem Sipora. Selain itu, warga kini juga menghadapi krisis air bersih.
Jika izin ini jalan, Rifai mengingatkan, pemerintah daerah akan menanggung beban pemulihan bencana. “Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal keberlangsungan hidup masyarakat adat,” ujarnya.
Tak hanya itu, dokumen izin juga dinilai cacat. Dari analisis GIS, 132 titik koordinat dalam dokumen PT SPS justru berada di Kota Bogor, Jawa Barat.
Koalisi menilai kesalahan fatal ini menunjukkan lemahnya verifikasi, bahkan bisa berimplikasi hukum.
WALHI: AMDAL Asal Jadi
Kepala Departemen Advokasi WALHI Sumbar, Tomi Adam, menambahkan, dokumen AMDAL PT SPS dibuat asal-asalan. Kajian rona awal tidak komprehensif, area pesisir dan laut diabaikan, dan rencana pembangunan jalan sepanjang 130 kilometer tak disertai analisis sumber material.
“Tanpa kajian quarry, dampak sedimentasi dan longsor tak pernah dihitung. Ini jelas berbahaya,” tegas Tomi.
Untuk menyelamatkan tutupan hutan Pulau Sipora yang saat ini masih tersisa, Koalisi Masyarakat Sipil Sumbar akhirnya mengajukan lima tuntutan.
Yaitu membatalkan izin persetujuan komitmen PBPH untuk PT SPS, menegakkan UU Pengelolaan Pulau Kecil, menyatakan rencana usaha PT SPS tidak layak lingkungan, membatalkan dokumen AMDAL yang cacat, dan menolak seluruh bentuk penebangan hutan alam di Sipora.
“Jika izin ini diteruskan, yang hancur bukan hanya hutan Sipora, tapi juga ruang hidup masyarakat adat dan warisan ekologis Mentawai,” tutup Rifai. (*)