BUKITTINGGI, HALUAN — Pemerintah Kota (Pemko) Bukittinggi memutus kontrak dua proyek pembangunan, yakni peningkatan saluran drainase perkotaan dan pembangunan rumah potong hewan (RPH) lantaran rekanan atau kontraktor pelaksana dianggap tidak bisa menuntaskan pekerjaan sesuai dengan target dan ketentuan yang disepakati.
Di sisi lain, pihak kontraktor, PT Inanta Bhakti Utama menyebutkan bahwa kedua proyek tersebut gagal lantaran ada “campur tangan” dari pejabat pemerintah daerah (Pemda). Hal itu terdindikasi dari masa pengumuman lelang hingga penandatanganan kontrak yang memakan waktu lebih dari satu bulan, yakni sejak tanggal 16 Juli hingga 19 Agustus 2021.
Pilot Project PT Inanta Bhakti Utama, Awaluddin Rao mengaku perusahaanya belum di-blacklist atau masuk daftar hitam. Sebab, menurutnya, untuk masuk daftar hitam ada aturan dan butuh proses. Rekanan harus dipanggil dan dimintai keterangan. Akan tetapi, hingga saat ini pihaknya belum dimintai keterangan oleh instansi terkait.
“Hingga saat ini kami belum dimintai keterangan oleh Inspektorat. Jadi, jika ada pejabat yang mengatakan perusahaan saya di-blacklist berarti pejabat itu tidak tahu aturan. Pengakuan Pak Bambang (PPK) dan Pak Kadis bahwa mereka telah menjadi korban dari proyek ini. Karena ada keinginan ‘menggagalkan’ saya sebagai kontraktor pelaksana sejak dari awal,” katanya kepada wartawan di Kantor DPRD Bukittinggi, Rabu (5/1).
Selain itu, juga ada campur tangan dari pejabat Pemko Bukittinggi untuk menghentikan pekerjaan yang tidak beralasan secara teknis dan tanpa unsur urgensi. Seharusnya, ia menambahkan, pekerjaan itu dilaksanakan secara baik dan bersama-sama.
Menurutnya, terkait dengan pemutusan kontrak tersebut, pihaknya sudah melayangkan surat keberatan kepada Pemko Bukittinggi pada 3 Januari 2021. Ia menilai pemutusan kontrak tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
“Setelah 10 hari surat keberatan itu kami layangkan, dijawab atau tidak dijawabnya surat tersebut, maka PTUN bisa berjalan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Bukitinggi, Beny Yusrial mengatakan, setelah melakukan rapat dengar pendapat dengan Pemko Bukittinggi, maka pekerjaan peningkatan saluran drainase perkotaan yang telah diputus kontrak tersebut tetap dilanjutkan tahun ini melalui anggaran pergeseran dengan kemungkinan akan melakukan tender ulang.
“Untuk proses kelanjutannya tentu kami akan melihat aturan-aturannya. Memang saat ini sudah terjadi pemutusan kontrak atas mangkraknya kegiatan proyek itu. Kami berharap ke depan akan ada solusi sesuai aturan untuk dilanjutkan kembali. Tentu akan dikaji dahulu aturan-aturannya. Berdasarkan keterangan Pemko, kemungkinan akan dilakukan tender ulang pada 2022 ini,” kata Beny.
Menurutnya, DPRD sudah memberikan catatan-catatan ke Pemko Bukittinggi untuk ke depan agar lebih selektif memilih rekanan yang berkualitas, terutama untuk proyek-proyek yang nilai anggarannya besar.
Wakil Ketua DPRD Bukittinggi, Rusdi Nurman menambahkan bahwa pihaknya sudah mendengar paparan Tim Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) dan Dinas PU Kota Bukittinggi, yang memang mengakui ada keterlambatan waktu selama 22 hari, dari kontrak awal selama 150 hari menjadi 128 hari.
“Kami tanya ke PBJ dan Dinas PU, itu sudah menjadi kesepakatan awal dengan kontraktor. Jadi, awal pelaksanaan sudah berjalan dengan baik tidak ada masalah. Barulah saat proyek berjalan muncul permasalahan-permasalahan. Walau bagaimanapun, DPRD akan mendukung pemerintah daerah untuk kembali menganggarkan agar proyek ini agar diselesaikan. Dengan catatan, pengawas dan pelaksana proyeknya memang harus yang betul-betul berkompeten,” ucapnya.
Di lain pihak, Wali Kota Bukittinggi, Erman Safar menyampaikan, pihaknya sudah memaparkan secara rinci progres pelaksanaan proyek drainase tersebut kepada DPRD Bukittinggi. Ia juga meminta DPRD untuk menganggarkan kembali kelanjutan pengerjaan drainase itu.
“Ini adalah kawasan ekonomi padat. Jadi, BPKP sudah memberikan surat kepda Pemko Bukittinggi untuk boleh dianggarkan kembali pada anggaran 2022 dengan mekanisme pergeseran anggaran. Jika mekanisme lelang, tentu harapannya didapat kontraktor yang berpengalaman,” katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bukittinggi, Martias Wanto menyebutkan, kontrak peningkatan saluran drainase primer dari Simpang Kangkuang hingga Jalan Pemuda Pasar Bawah telah diputus pada 26 Desember 2021 lalu.
“Pelaksana pekerjaan peningkatan saluran drainase primer ini PT Inanta Bhakti Utama, dengan biaya Rp12,9 miliar yang berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Kota Bukittinggi tahun 2021. Waktu pelaksanaan pekerjaan dimulai 19 Agustus hingga 26 Desember 2021,” kata Martias.
Pemutusan kontrak disebabkan rekanan atau kontraktor pelaksana tidak bisa menuntaskan pekerjaan sesuai dengan target dan ketentuan yang disepakati. Pemko melihat, progres pekerjaan rekanan hingga November masih berjalan dengan lancar, tapi pada awal Desember terjadi kepincangan progres.
“Setelah dilakukan penghitungan pekerjaan, rupanya tidak sesuai progresnya. Rekanan itu termasuk kontrak kritis. Sebelumnya, pengawas dan konsultan telah mengingatkan pihak rekanan. Namun bukannya membaik, malah deviasinya bertambah besar,” kata Martias.
Menurut Martias, sebelum pemutusan kontrak dilakukan, rekanan telah diberikan Surat Peringatan (SP) pertama hingga SP ketiga. Setelah SP ketiga diberikan, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menyimpulkan bahwa kontrak rekanan tersebut resmi putus karena hitungan sementara pekerjaan yang tuntas hanya 61 persen.
“Kontrak diputus ini tidak diperpanjang. Sebab, diperkirakan rekanan tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaan. Ketika kontrak diputus, maka perusahan masuk daftar hitam alias blacklist. Uang jaminan dicairkan dan volume pekerjaan dihitung. Ini jelas sangat merugikan perusahaan, dan perusahaan ini tidak akan bisa ikut lelang lagi,” ujarnya.
Menurut Martias, rekanan tidak mampu menuntaskan pekerjaan karena beberapa sebab, di antaranya karena kontur tanah yang berada di luar perkiraan, serta lalu lintas kendaraan di lokasi yang amat mengganggu proses pekerjaan.
“Seharusnya sebelum melakukan penawaran, rekanan telah mengetahui dan menguasai kondisi lokasi, sehingga apabila terkendala bisa dapat diatasinya. Tapi untuk sekarang tidak ada alasan lain,” ujarnya.
Selain itu, pemutusan kontrak juga dilakukan terhadap pekerjaan lanjutan pembangunan rumah potong hewan (RPH) di Talao. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kota Bukittinggi, Ismail Djohar mengatakan, pemutusan kontrak dilakukan karena pelaksana tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.
Pekerjaan lanjutan RPH ini, sebut Ismail, dikerjakan oleh CV Serasi Bersama dengan nilai Rp2,3 miliar. Pekerjaan yang dimulai pada Juli tersebut seharusnya selesai pada 11 Desember 2021 lalu. Namun hingga batas waktu tersebut, progres pekerjaan hanya mencapai 45 persen lebih.
“Sebelumnya, kami sudah memberikan surat peringatan sebanyak tiga kali kepada pelaksana pekerjaan. Namun karena tidak mampu menyelesaikannya, maka dilakukan pemutusan kontrak setelah tiga kali uji coba. Untuk kelanjutan pekerjaan, akan dilanjutkan pada 2022 mendatang,” kata Ismail. (h/ril/tot)