PADANG, HARIANHALUAN.ID – Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, kembali menegaskan bahwa polemik izin konsesi PT Sumber Permata Sipora (SPS) di Kepulauan Mentawai sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat
Pemprov Sumbar, menurutnya, hanya menjalankan penugasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Perlu dipahami, seluruh kewenangan persetujuan izin PBPH maupun AMDAL nya ada di Pusat, bukan di daerah. Pemprov Sumbar hanya menerima penugasan untuk melakukan penilaian Amdal dari KLHK. Itu pun semua keputusannya kembali ke Kementerian,” tegas Mahyeldi, merespons tudingan sejumlah pihak yang mengaitkan dirinya dalam proses izin PT SPS.
Sebelumnya, polemik rencana penerbitan izin konsesi PBPH bagi PT SPS kian menuai sorotan usai Bupati Kepulauan Mentawai, Rinto Wardana, melayangkan surat Nomor 500.4.3.16/33/DLHK kepada Dirjen Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat KLHK.
Surat tersebut berisi permintaan peninjauan ulang PBPH PT SPS sekaligus percepatan verifikasi hutan adat di Pulau Sipora.
Dalam surat itu, disebutkan adanya indikasi tumpang tindih antara rencana konsesi PT SPS dengan 12 usulan kawasan hutan adat yang diajukan masyarakat hukum adat Mentawai sejak 2020 dan 2022.
Surat itu menjelaskan bahwa sejak tahun 2020, usulan penetapan kawasan hutan adat telah dilakukan empat kelompok Masyarakat Hukum Adat (MHA) di
Kecamatan Siberut Selatan seluas 1.140,18 hektare serta enam usulan kawasan hutan adat di Kecamatan Siberut Utara seluas 6.627,19 hektare
Sementara pada tahun 2022, satu usulan penetapan kawasan hutan adat juga telah diajukan di Kecamatan Sipora Utara seluas 1.342,13 hektare serta satu usulan lagi di Kecamatan Sipora Selatan, dengan luas 8.682,85 hektare.
Total ada 12 usulan penetapan kawasan hutan adat yang telah diusulkan masyarakat kepada Kementerian Kehutanan di wilayah itu. Luas kawasan usulan yang diduga bertumpang tindih dengan rencana konsesi PT SPS diperkirakan mencapai lebih dari 17 ribu hektare
“Jika memang terjadi tumpang tindih, maka itu menjadi kewenangan KLHK untuk memutuskan. Pemprov sudah menyampaikan laporan, dan sekarang kita menunggu arahan lebih lanjut dari pusat,” ujar Mahyeldi.
Surat dari Bupati Mentawai tersebut langsung mendapat atensi pemerintah pusat. Staf Khusus Presiden bahkan sudah turun ke Sumatera Barat dan Pulau Sipora untuk memverifikasi kebenaran informasi yang beredar. Ditjen PDLUK KLHK pun telah mengagendakan rapat pembahasan melalui Zoom, meski hingga kini rapat lanjutan belum terlaksana tanpa alasan yang jelas.
Mahyeldi menyebut, dalam situasi ini Pemprov memilih menunda proses penilaian Amdal PT SPS. Apalagi, selain tumpang tindih dengan hutan adat, penolakan masyarakat sipil juga masih cukup kuat.
“Dengan adanya surat Bupati dan pro kontra di lapangan, DLH Sumbar sudah bersurat resmi ke Kementerian pada 26 Agustus 2025 untuk meminta arahan lebih lanjut. Jadi, kita tunggu keputusan dari pusat. Daerah tidak bisa memutuskan sendiri,” tegas Mahyeldi.